REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI -- Aksi pengepungan dua kantor kementerian di Ibu Kota Libya, Tripoli berakhir. Sekelompok massa bersenjata dan pemerintah transisi setuju untuk menyudahi konflik baru di negeri tersebut.Menteri Kehakiman Salah Marghani mengatakan, kelompok sipil bersenjata setuju menyerahkan dua kantor kementerian tersebut kepada sebuah komite kepolisian.
''Kami berharap hal seperti ini tidak lagi terjadi,'' kata Marghani, seperti dilansir BBC News, Ahad (12/5). Sekitar seribu massa mengepung dua kantor pemerintahan di Tripoli, sejak April lalu. Aksi tersebut disertai dengan pemagaran dengan menggunakan truk dan pick-up bersenjata. Sebagian individu juga menenteng senjata laras panjang dan siap berperang.
Aksi selama dua pekan tersebut mengancam runtuhnya pemerintahan transisi di Libya yang terbentuk 2011 lalu. Massa yang tidak memberikan nama tersebut terdiri dari kelompok sipil dan veteran perang revolusi penggulingan rezim Presiden Muamar Gaddafi. Mereka mengepung Gedung Kementerian Luar Negeri dan Perkantoran Menteri Kehakiman.
Aksi tersebut menyusul desakan sipil menolak bercokolnya kembali tokoh-tokoh lama dalam pemerintahan transisi di Libya. Tuntutan tersebut mendesak Parlemen Libya, Kongres Nasional Umum (GNC) merumuskan undang-undang melarang pejabat-pejabat dari rezim Gaddafi mendapatkan pos-pos strategis di pemerintahan yang baru.
Desakan tersebut sempat ditolak lantaran akan mengundang kontroversi dan ketegangan. Sebab beberapa nama lama, seperti Perdana Menteri Ali Zeidan, dan Ketua GNC Mohamed Magariaf adalah beberapa nama lama yang kembali menjabat. Kedua nama tersebut adalah diplomat senior di era 1970 - 1980-an saat Gadafi berjaya. Namun negosiasi alot di parlemen menjawab desakan kelompok sipil dan bersenjata tersebut. Pekan lalu, GNC setuju dengan aturan baru larangan menjabat bagi orang-orang lama.
Reuters melaporkan, motor penggerak dalam aksi pengepungan tersebut adalah kelompok timur dari pimpinan Ahmed Zubair Sennusi. Kelompok ini dikatakan garis keturunan Raja Idris, rezim Dinasti Cyrenaica yang berkuasa sebelum 1969. Rezim ini menjadi sasaran revolusi Gaddafi pada 1969.
Selain mendesak GNC atas larangan orang-orang lama di pemerintahan baru. Zubair juga mendesak GNC untuk membentuk payung hukum bagi terbentuknya Negera Federasi Libya, dan menjadikan wilayah timur sebagai salah satu negara bagian dengan otonomi penuh.''Kami tidak akan meyerahkan Cyrenaica ke dalam kekuatan lama,'' kata Zubair seperti dikutip Reuters, Sabtu (11/5).
Menurut dia, wilayah timur Libya berhak atas otonomi khusus lantaran menjadi kawasan eksplorasi sumber daya alam terbesar di negara di Afrika Utara itu. Sementara itu, desakan kelompok bersenjata di jantung kota utama Libya dan aturan baru GNC, membawa kebijakan politik baru di pemerintahan.
PM Zeidan dan Ketua GNC Magariaf dikatakan tidak perlu mengundurkan diri. Keduanya dianggap aman lantaran membelot dari rezim Gaddafi sejak 1980-an. Akan tetapi, Zeidan terpaksa merencanakan perombakan kabinet di pemerintahannya. ''Krisis kali ini menjadi latar belakang (perombakan),'' kata Zeidan, seperti dilansir Aljazirah, Ahad (12/5).
Zeidan tidak menyebutkan kementerian dan pejabat mana yang akan di rombak. Tapi rencana tersebut akan dilakukan secepatnya.