REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Para pekerja pelayanan pintu perbatasan Rafah yang menghubungkan Mesir dan Jalur Gaza di Semenjanjung Sinai Utara melancarkan pemogokan. Aksi ini digelar menyusul penculikan tujuh personel keamanan penjaga perbatasan.
"Pintu perlintasan akan terus digembok hingga tujuh rekan kami yang diculik dibebaskan dengan selamat," demikian taklimat para pekerja perlintasan pada Ahad waktu setempat.
Penggembokan pintu perlintasan itu dilakukan sejak Jumat atau sehari setelah aksi penculikan terhadap tujuh aparat keamanan penjaga perbatasan. Penculikan diduga kuat dilakukan kelompok garis keras yang menamakan diri Gerakan Jihad.
Gubernur Semenanjung Sinai utara, Abdul Fatah Harhour, pada Ahad mencoba melakukan pendekatan dengan para pekerja pintu perlintasan untuk pembukaan kembali. Namun, mereka tidak mencapai kata sepakat.
Presiden Mesir, Mohamed Mursi, melakukan pertemuan darurat dengan Menteri Pertahanan, Jenderal Abdul Fatah Al Sisi; Menteri Dalam Negeri yang membawahi lembaga kepolisian, Jenderal Mohamed Ibrahim; dan Kepala Intelijen Negara untuk mencari titik temu mengenai pembebasan para korban penculikan.
Sementara ratusan warga Palestina yang terjebak, baik yang hendak memasuki Jalur Gaza dari Mesir maupun sebaliknya dari Jalur Gaza ke Mesir, mendesak agar pintu perlintasan itu segera dibuka kembali.
Di sisi lain, partai-partai politik yang beroposisi mengecam sikap pemerintah yang melakukan perundingan dengan pihak penculikan untuk pembebasan korban. Ketua Partai Misrul Hurriyah, Arm Hamzawi, menilai upaya perundingan dengan kelompok penculikan itu menunjukkan kelemahan aparat keamanan dalam tugasnya.
Pernyataan senada diutarakan Partai Misriyinal Ahrar yang medesak agar tidak memberi ruang perundingan terhadap kelompok gerilyawan.
Semenanjung Sinai saat ini masih diberlakukan kawasan operasi militer sejak pembunuhan terhadap enam aparat keamanan penjaga perbatasan pada Agustus tahun lalu.