REPUBLIKA.CO.ID, KATHMANDU -- Asosiasi Operator Ekspedisi Pendakian Gunung Everest tengah membahas rencana pemasangan tangga di Tanjakan Hillary, Gunung Everest untuk mengurangi kemacetan saat pendakian. Namun, rencana ini membuat kontroversi terutama dari pendaki yang menginginkan tantangan.
Tanjakan Hillary merupakan jalan yang hampir vertikal sepanjang 40 kaki. Tanjangan itu sempat membuat pendaki asal Selandia Baru, Sir Edmund Hillary mencapai batas kemampuannya. Namun, setelah tanjakan itu terlewati, jalan menuju puncak Gunung Everest terbuka lebar.
"Kami sekarang tengah membahas untuk memasang tangga di Tanjakan Hillary tapi jelas ini kontroversial," kata Dawa Steven Sherpa, yang merupakan anggota senior dari Asosiasi Operator Ekspedisi di Nepal seperti dikutip the Guardian, Selasa (28/5).
Tahun ini, 520 pendaki telah mencapai puncak Everest. Pada 19 Mei lalu, sekitar 150 pendaki mencapai puncak terakhir setinggi 3.000 kaki dari kamp IV sampai berjam-berjam karena kemacetan panjang. Pendaki antri untuk naik atau turun di tanjakan tersebut.
"Sebagian besar kemacetan terjadi di Tanjakan Hillary karena hanya satu orang bisa naik atau turun. Jika yang menunggu orang-orang sampai dua, tiga, atau empat jam berarti akan berisiko banyak," ujarnya.
Menurut Sherpa, pemasangan tangga juga tidak akan membuat pendakian lebih mudah. Namun, itu akan lebih aman buat pendaki. Sherpa memimpin pendakian dengan rute tradisional dimana pendaki harus membayar antara 45 ribu-75 ribu dolar AS.
Otoritas gunung di dunia mendukung rencana tersebut. Presiden Federasi Pendakian Internasional (UIAA), Frits Vrijlandt mengatakan tangga tersebut akan menjadi solusi untuk meningkatkan jumlah pendaki. Ini merupakan jalan turun, jadi tidak akan mengubah pendakian.