Rabu 05 Jun 2013 03:01 WIB

Muslim AS yang Disiksa di Luar Negeri Tuntut FBI

Penjara (ilustrasi)
Penjara (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Seorang Muslim Amerika, Yonas Fikre, yang mengaku disiksa di Uni Emirat Arab (UAE) atas instruksi pemerintah AS, menggugat Biro Investigasi Federal (FBI) dan Departemen Luar Negeri, Kamis (30/5), Mei lalu

Kisah Fikre pertama kali muncul pada April 2012, saat ia mengklaim diperlakukan kasar dan disiksa oleh otoritas lokal di UAE gara-gara ia menolak dijadikan informan oleh FBI.

Dalam laporan Mother Jones 2011, pemerintah AS mengakui bahwa informasi yang dibagikan ke pemerintah luar negeri mengenai tersangka terorisme asal Amerika, kadang berujung pada penahanan, hukuman dan interogasi orang-orang tersebut di luar Amerika.

FBI juga mengakui bahwa para aggennya dalam beberapa kesempatan 'mewawancara atau menyaksikan wawancara' tersangka terorisme Amerika yang ditahan di luar negeri.

Gugatan hukum Fikre menyatakan ia telah menjadi korban praktik tersebut, yang dikenal sebagai detensi proxy. Ia pun menuntut ganti rugi material 30 juta dan juga keputusan hukum mengikat untuk mencegah pemerintah memperlakukan warga negara Amerika seperti yang diakui telah dialaminya.

Pengakuan Fikre bukan sesuatu yang unik. Ada berbagai pengakuran serupa dari warga Amerika lain yang menyatakan mereka pernah ditahan dan diinterogasi oleh petugas keamanan asing atas permintaan pemerintah AS.

Kisah Fikre mengingatkan lagi cerita serupa milik Naji Hamdan, Amir Meshal, Sharif Mobley, Gulet Mohamed, dan Yusuf dan Yahya Wehelie. Semuanya adalah warga muslim pemegang paspor sah Amerika, yang mengaku ditahan dan diinterogasi, dalam beberapa kasus disiksa oleh aparat keamanan saat di luar negeri.

Pemerintah Amerika Serikat, ujar mereka, menggunakan prosedur itu sebagai dalih karena mereka memiliki kewarganegaraan Amerika.

Beberapa pejabat di FBI, kepada Mother Jones, Jumat (31/5) lalu mengonfirmasi--dengan syarat tak diungkap namanya--bahwa biro selama bertahun-tahun menggunakan agen elite internasional mereka, yang dikenal sebagai atase hukum atau legats, untuk memastikan posisi tahanan Amerika dan tersangka terorisme asing di tangan para sekutunya.

Dan meski FBI menjaga dan meminta agar pemerintah asing yang menahan tersangka terorisme asal Amerika tidak menyiksa tahanan, banyak negara-negara tadi memiliki sejarah panjang dalam siksa-menyiksa tahanan.

Tuntutan Fikre terhadap keputusan mengakhiri praktik tersebut memiliki tujuan bagus. Hanya saja ada masalah karena Fikre saat ini berada di Swedia mencari suaka politik.

Namanya masuk dalam daftar larangan terbang pemerintah AS, dan sepertinya bakal sulit kembali ke AS, bahkan bila ia berkeinginan. Ia juga memiliki masalah hukum.

Dua pekan setelah ia membeberkan kisahnya ke publik, jaksa federal menuntutnya dan dua nama lain atas pelanggaran hukum federal karena mentransfer sejumlah besar uang ke luar negeri. Fikre menolak gugatan tersebut, dalam gugatannya, ia menuding pemerintah sengaja menyerangnya sebagai balasan karena mengungkapkan cerita itu ke publik.

Meski bila gugatan itu maju terus, pemerintah juga telah memegang kartu AS yakni hak keistimewaan rahasia negara, sebuah aturan yang membolehkan federal menolak kasus hukum ketika ia bisa menggangu keamanan nasional.

Jangan heran, keistimewaan itu pertama kali dikeluarkan pada era George W. Bush dan dilanggengkan oleh pemerintahan Barack Obama. Tujuanya untuk mengantisipasi agar kasus yang melibatkan operasi spion terhadap warga Amerika tak terungkap, juga mencegah kemungkinan hubungan AS dengan pemerintah Asing yang menyiksa rakyatnya, ikut terbongkar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement