REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengungsi PBB (UNHCR) yang berlokasi di New York, pada Jumat (7/6), mengatakan, sebanyak 140.000 orang masih kehilangan tempat tinggal setahun setelah meletusnya kerusuhan antar-etnis di Negara Bagian Rakhine, Myanmar.
UNHCR telah bekerjasama dengan pemerintah dan mitra untuk menyediakan air, kebersihan dan layanan kesehatan bagi orang yang terusir akibat kerusuhan bernuansa SARA.
Juru Bicara PBB Martin Nesirky dalam taklimat harian seperti diberitakan Xinhua, Sabtu (8/6) menjelaskan, UNHCR siap menyediakan dukungan teknis bagi pemerintah untuk mendaftarkan semua orang yang menjadi pengungsi di dalam negeri.
"Untuk mendorong perujukan bagi kepulangan secara aman dan sukarela secara berkesinambungan," kata Nesirky. Negara Bagian Rakhine dihuni oleh lebih dari 3,3 juta orang Rakhine dihuni oleh warga Buddha dan Muslim.
Di Myanmar Barat, terletus konflik mematikan tahun lalu di Rakhine. Peristiwa tersebut mengakibatkan 192 orang tewas, 265 orang lagi cedera dan 8.614 rumah terbakar berdasarkan satu laporan yang disiarkan oleh Komisi Penyelidikan Konflik Negara Bagian Rakhine versi pemerintah.
PBB mencatat, sebanyak 75.000 orang terusir dalam gelombang pertama kerusuhan di bagian utara negara bagian itu pada Juni lalu. Sebanyak 36.000 orang lagi terusir dari rumah mereka oleh gelombang kedua kerusuhan pada Oktober.
UNHCR juga menyerukan langkah aktif guna mencegah arus orang ke luar Negara Bagian Rakhine. Sejak Juni lalu, lebih dari 27.000 orang, yang kebanyakan diduga dari Rakhine, telah melakukan pelayaran berbahaya untuk mencari keselamatan dan kestabilan di negara lain.
Menurut Neirsky, UNHCR telah menyeru semua pemerintah di wilayah itu agar membuka pintu mereka buat orang yang memerlukan perlindungan internasional. UNHCR juga meminta semua aparat pemerintah di Myanmar agar segera menangani pangkal masalah arus pengungsi tersebut.