Kamis 13 Jun 2013 19:03 WIB

Biksu Myanmar Berkumpul Bahas Soal Kekerasan

Rep: Ichsan Emrald Alamsyah/ Red: Dewi Mardiani
Para biksu Myanmar tujun ke jalan, memprotes bantuan OKI terhadap Muslim Rohingnya, Jumat (12/10).
Foto: AFP
Para biksu Myanmar tujun ke jalan, memprotes bantuan OKI terhadap Muslim Rohingnya, Jumat (12/10).

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Biksu Buddha yang ada di pelosok Myanmar akan menggelar pertemuan untuk membicarakan kekerasan yang mengguncang negeri, Kamis (13/6). Pertemuan ini juga membicarakan laporan biksu Buddha yang ikut menyerang muslim dalam kerusuhan.

Kerusuhan yang berkali-kali terjadi, dengan target utama umat muslim telah memperlihatkan sebuah friksi yang terjadi di negara mayoritas Buddha tersebut. Padahal di saat yang sama, Myanmar sedang melakukan reformasi politik setelah berada di bawah kekuasaan junta militer.

Biksu Dhammapiya, yang menjadi juru bicara acara tersebut, mengatakan bahwa 200 biksu akan hadir pada pertemuan Wihara di Yangon. Dalam acara tersebut para biksu akan membahas cara untuk meredakan ketegangan.''Orang asing banyak yang berpikir bahwa kekerasan di Myanmar dipicu oleh para biksu,'' ucap dia kepada AFP, Kamis.

Ia pun menjelaskan bahwa banyak yang berpikir ketika biksu berada di dalam kerumunan dianggap memicu atau terlibat kerusuhan. Padahal mereka sedang berusaha menghentikan kekerasan massa.Oleh karena itu para biksu akan membahas bagaimana untuk menghentikan kekerasan yang terjadi. Biksu juga akan membantu pemerintah untuk memecahkan masalah. Biksu antimuslim, Wirathu, menurut dia juga akan diundang untuk ikut dalam acara tersebut.

Kampanye Wirathu yang disebut ''969'' diketahui mempelopori hasutan untuk berdagang atau membeli di toko umat muslim. Warga Myanmar dianjurkan hanya mengunjungi toko umat Buddha. Sementara Dhammapiya membantah bahwa kampanye Wirathu yang dikenal ''969'' bertanggung jawab atas serangkaian kekerasan yang terjadi di negeri itu. Khususnya kejadian yang berlangsung di Negara Bagian Shan Mei Timur.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement