Kamis 20 Jun 2013 08:17 WIB

Hari Pengungsi Sedunia: Suka Duka Pengungsi di Australia

Red:
Pengungsi di Australia
Pengungsi di Australia

CANBERRA -- Reporter ABC Bethany Keats bertemu dengan beberapa pengungsi asal Afghanistan, Afrika dan Myanmar yang tinggal di Geelong, sebuah kota yang terletak 75 kilometer barat daya dari Melbourne dan ditempati oleh setidaknya1.500 pengungsi.

Berikut catatan Bethany saat mengunjungi kamp pengungsi tersebut:

Hari Pengungsi Sedunia jatuh pada tanggal 20 Juni setiap tahunnya. Di Australia tahun ini, hari internasional itu jatuh di Pekan Pengungsi. Kegiatan ini juga mengangkat isu-isu penting yang berhubungan dengan pengungsi dan keimigrasian. 

Menurut Departemen Imigrasi dan Kewarganegaraan Australia, ada sekitar 30 ribu dari 220 ribu warga Geelong yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris. Dan lebih dari 1.500 pengungsi telah menempati kota Geelong, kebanyakan datang dari Myanmar, Afghanistan, Sudan dan Kongo. 

Tema Pekan Pengungsi tahun ini adalah "Mengembalikan Harapan". Saya sempat berbicara dengan beberapa pengungsi yang tinggal di kota Geelong di negara bagian Victoria mengenai pengalaman mereka dan harapan ke depan.

Salah satunya adalahg Anisa Atef dari Afghanistan. Ia tiba di Australia pada tahun 1986. Ia sempat mengungsi di Pakistan dengan bantuan PBB. "Kami berjalan kaki melewati beberapa kampung di Afganistan, perjalanan yang kami tempuh medannya sangat tangguh melewati hutan dan padang gurun," kata Anisa. 

Ia merasa pengalamannya sangat berbeda dengan para pengungsi Afghanistan sekarang karena ia tidak pernah ditahan di pusat detensi atau kamp pengungsi. Ketika Anisa tiba, belum ada komunitas pengungsi Afghanistan di kota Geelong, tapi sekarang para pengungsi lama berkumpul untuk membantu mereka yang baru tiba. Harapannya adalah bagi para pengungsi di pusat detensi untuk dibebaskan.

Lain kisahnya dengan Jean Pierre Byamungu dari Kongo, yang sempat tinggal di kamp pengungsi di Malawi. Ia mengatakan kehidupannya jauh lebih baik di Australia. "Kehidupan saya disini sangat baik karena anak-anak saya bahagia. Saya rasa masa depan saya sangat baik karena anak-anak akan mendapatkan pendidikan yang baik," katanya.

Atim Tabitha dari Sudan Selatan jatuh cinta dengan seorang misionaris Australia dan menikahinya ketika ia berada di kamp pengungsi. Walaupun Tabitha tiba di Australia sebagai seorang migran dan bukan pengungsi, ia mengatakan kehidupannya sebagai pengungsi sangat susah. "Kami lari dari Sudan ke Uganda. Mereka datang dan membunuh 140 pengungsi Sudan di Uganda. Kami lalu lari ke kamp lainnya. Kehidupan seorang pengungsi sangat sulit." 

Tapi beberapa pengungsi di kota Geelong melewati proses penyesuaian yang sulit.

Maw Poad adalah seorang kaum minoritas Karen di Myanmar, dan ia datang ke Australia pada tahun 2009. Ia merasa kehidupannya di Australia sangat sulit karena keterbahasan bahasa membuatnya susah mendapatkan pekerjaan. 

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement