Senin 24 Jun 2013 11:16 WIB

Banyak Kasus Pelecehan Buruh Pabrik Bangladesh

Red:
Demo Buruh Bangladesh
Demo Buruh Bangladesh

CANBERRA -- Beberapa kelompok buruh di Bangladesh mengatakan mereka mendapat siksaan dan ancaman fisik dalam pekerjaan di pabrik sweatshop yang mengirimkan hasil kerja mereka ke beberapa bisnis ritel utama Australia. 

Dalam salah satu kasus, mereka mengatakan dipukuli dan diancam akan dibunuh bila melakukan protes atas kondisi kerja mereka.

Program ABC Four Corners telah mengunjungi ibu kota negara tersebut, Dhaka, di mana para pekerja tersebut mengungkapkan bisnis-bisnis besar Australia seperti Rivers, Coles, Target dan Kmart memesan barang dari pabrik-pabrik di Bangladesh yang tidak memenuhi standard praktik kerja internasional. 

Pengungkapan ini muncul hanya beberapa bulan setelah masyarakat internasional menyaksikan tragedi runtuhnya pabrik Rana Plaza di mana lebih dari seribu pekerja tewas. Kejadian tersebut menyoroti keadaan pelecehan hak pekerja di negara tersebut.

Selagi jumlah korban tewas terus meningkat dalam kejadian tersebut, bisnis-bisnis ritel internasional berusaha menjauhkan diri dari industri garmen di negara tersebut.

Runtuhnya bangunan tersebut merupakan satu dari beberapa peristiwa mematikan di pabrik-pabrik lainnya, dan beberapa operator pabrik telah mengatakan mereka mendapat tekanan sangat besar dari bisnis ritel sehingga tidak lagi bisa memastikan standard keamanan di pabrik-pabrik tersebut.

Sampai saat berita ini diturunkan, tidak ada dari perusahaan-perusahaan Australia yang disebut bersedia berbicara kepada Four Corners.

Pekerja menggambarkan kondisi pelecehan hak di pabrik

Shahanas dan Salma bertemu dengan kru Four Corners di sebuah tempat yang agak jauh dari rumah mereka. Mereka dibayar sekitar $3 per hari (sekitar 30 ribu rupiah) untuk membuat barang-barang yang dikirim ke perusahaan Australia Rivers, dan mendapat tekanan yang luar biasa.

"Sistemnya begini: berapa potong pakaian yang telah saya buat dalam satu jam? Kalau saya tidak bisa memenuhinya, bahasa yang melecehkan mulai dipakai," kata Shahanas.

Shahanas mengatakan gajinya sangat kecil sehingga dia hanya bisa pulang kampung ke desanya satu kali setahun untuk bertemu dengan anak lelakinya.

Four Corners mengunjungi daerah pinggiran di Dhaka untuk berbicara dengan manajer pabrik tempat Shahanas dan Salma bekerja, Eve Dress Shirts.

Tapi manajer tersebut menampik anggapan bahwa mereka membuat pakaian untuk Rivers.

Menurut Shahanas, ketika pembeli dari luar negeri datang ke pabrik, para pekerja dilarang berbicara dengan mereka.

Four Corners bertanya kepada Rivers, yang memiliki lebih dari 150 toko dan bisnis online di Australia tentang hubungan mereka dengan Eve Dress Shirts, tapi belum memberi respons.

Sedangkan pekerja di pabrik Rosita, yang membuat pakaian untuk Coles, telah dilaporkan oleh sebuah lembaga pelindung hak pekerja, Global Labour and Human Rights, pada tahun 2012 melakukan berbagai pelecehan hak asasi pekerja di pabrik tersebut. 

Juru bicara organisasi itu, Charles Kernaghan, mengatakan ketika pekerja ditanya mengenai hak mereka, perusahaan tersebut memukuli para pekerja dan memecat 300 orang.

Dia mengatakan para perwakilan pekerja diancam dibunuh apabila tidak "tutup mulut".

"Kami menemukan bahwa Rosita dan Megatex dimiliki oleh South Oceam yang merupakan produsen sweater terbesar di dunia dan mereka melecehkan hak pekerja pada setiap kesempatan yang bisa dibayangkan," kata Charles Kernaghan.

Konsumen Australia ingin perubahan

Produksi pakaian di Bangladesh telah meningkat sebanyak empat kali lipat selama dekade terakhir dan dalam beberapa tahun ke depan akan melampaui Cina sebagai produsen garmen terbesar di dunia.

Bisnis ritel Eropa dan Amerika Serikat telah mendorong ledakan bisnis tersebut dan kini Australia ikut bergabung.

Produksi garmen Bangladesh untuk perusahaan-perusahaan Australia telah meningkat 1,500 persen sejak tahun 2008. 

Menurut sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh organisasi nirlaba Oxfam, hampir 70 persen warga australia mengatakan bersedia membayar lebih untuk membeli baju apabila itu artinya para pekerja mendapat gaji yang layak dan kondisi kerja yang aman.

Selain itu, 84 persen warga Australia yang mengambil bagian dalam survey mengatakan mereka ingin perusahaan-perusahaan di Australia untuk menanda tangani perjanjian yang memastikan perbaikan perlindungan pekerja di Bangladesh. 

Kepala Oxfam Australia Helen Szoke mengatakan hanya tiga perusahaan Australia -Kmart, Target dan Forever New - telah menanda tangani perjanjian keselamatan tersebut. "Perusahaan-perusahaan di Eropa dan Amerika sudah mulai transparan mengenai di mana garmen mereka diproduksi, jadi kenapa harus berbeda untuk perusahaan Australia?" katanya. 

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement