Selasa 02 Jul 2013 09:14 WIB

Prancis Ingatkan AS Agar Tak Memata-matai Sekutunya di Eropa

Presiden Prancis, Francois Hollande
Foto: REUTERS
Presiden Prancis, Francois Hollande

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Presiden Prancis Francois Hollande menyeru Washington agar memberi Paris dan sekutunya di Eropa jaminan mengenai masalah mata-mata sebelum dilanjutkannya perundingan perdagangan bebas.

"Kami tak bisa menerima prilaku semacam ini antara mitra dan teman ... Kami tahu ada sistem yang perlu dipantau, terutama dalam perang melawan aksi teror, tapi saya kira resiko ini tak ada di dalam kedutaan besar kami atau Uni Eropa," kata Hollande.

"Semua unsur telah dikumpulkan guna menuntut penjelasan. Kami ingin ini dihentikan secepatnya," kata Hollande sebagaimana dilaporkan Xinhua.

Menteri Luar Negeri Prancis Laurent Fabius mengadakan pertemuan dengan duta besar AS di Paris untuk meminta penjelasan lebih jauh mengenai masalah itu --yang menimbulkan kemarahan di seluruh blok Eropa tersebut, tambah Presiden Prancis itu.

Dalam tindakan untuk meredakan ketegangan, Presiden AS Barack Obama pada Senin berjanji akan memberi semua sekutunya di Eropa seluruh informasi yang diminta mengenai dugaan aksi mata-mata tersebut.

Pada Sabtu (29/6), majalah Jerman, Der Spiegel, melaporkan di jejaringnya bahwa Dinas Keamanan Nasional AS menyadap kantor Uni Eropa dan memperoleh akses ke jaringan komputer internal blok Eropa itu. Majalah tersebut menyatakan laporannya dilandasi atas dokumen rahasia.

Uni Eropa (UE) telah menyatakan organisasi regional itu telah mengajukan pertanyaan kepada Pemerintah AS mengenai dugaan tindakan memata-matai kantor UE, kata media pada Ahad (30/6).

UE telah menghubungi Pemerintah AS dan menuntut "penjelasan lengkap" setelah satu laporan disiarkan oleh mingguan Jerman, Der Spiegel, bahwa Washington memasang alat penyadap di kantor UE di Brussels dan AS.

Mikrofon dipasang di gedung sementara jaringan komputer telah disusupi sehingga NSA bisa mengakses semua surat elektronik dan dokumen internal.

Snowden pada Juni mengungkapkan adanya program yang disebut sebagai PRISM --yang dijalankan oleh Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat (NSA).

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement