Jumat 05 Jul 2013 14:13 WIB

Pelajaran dari Mesir

Aksi unjuk rasa para pendukung Presiden Muhammad Mursi di Nasser City, Kairo, Mesir, Kamis (4/7).    (AP/Hassan Ammar)
Aksi unjuk rasa para pendukung Presiden Muhammad Mursi di Nasser City, Kairo, Mesir, Kamis (4/7). (AP/Hassan Ammar)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Hery Sucipto*

Krisis politik di Mesir mencapai puncaknya, Selasa malam (2/7), saat militer mengumumkan penggulingan terhadap Presiden Mesir Muhamad Mursi. Kudeta dilakukan setelah ultimatum militer tak diindahkan Mursi.

Di tengah tekanan ratusan ribu demo rakyat dan oposisi, militer mengintervensi dan kini mengambil alih kekuasaan Mesir. Ketua Mahkamah Konstitusi Mesir Adly Mansour ditunjuk militer menjadi presiden sementara hingga digelarnya pemilu.

Dilema transisi

Instabilitas sosial politik di Mesir sebenarnya sudah bisa diprediksi sejak jatuhnya diktator Mubarak pada dua tahun lalu oleh aksi revolusi Arab spring. Berkuasanya militer dan kelompok sekuler dalam rentang waktu yang cukup lama, hampir 30 tahun, lalu tumbang oleh kekuatan rakyat tentu menjadi pukulan telak bagi rezim Mubarak, termasuk kalangan Barat yang selama itu mendukung Mubarak.

Tuntutan mengadili Mubarak dan kroninya juga tak lepas dari kekuatan rakyat yang menyambut revolusi sebagai era baru perubahan menuju demokrasi modern. Komitmen bagi tegaknya negara demokratis pun diwujudkan melalui penyelenggaraan pemilu bebas pertama dalam sejarah Mesir modern.

Kelompok Islam Ikhwanul Muslimin (IM) memenangkan pemilu parlemen dan presiden, lalu di urutan kedua kelompok Salafi (garis keras) sebagai pemilik kursi terbanyak di parlemen setelah IM. Presiden sipil pertama pun terpilih, Mursi, dari IM.

Sebenarnya, kesuksesan penyelenggaraan Pemilu Mesir ini menjadi catatan tersendiri, yakni sebagai barometer bagi harapan tumbuhnya demokrasi di dunia Arab. Saat ini, mayoritas wilayah Arab dikuasai para tiran berbentuk kerajaan. Pemilu juga sekaligus sebagai modal dasar dan strategis bagi pembangunan kembali Mesir baru yang lebih demokratis dan transparan.

Sayangnya, modal penting yang dibangun dengan mengorbankan banyak nyawa dalam revolusi Mesir dan menumbangkan rezim Mubarak itu tidak mampu dimanfaatkan dengan baik. Di satu sisi, para elite (kelompok sekuler dan oposisi) yang kalah dalam pemilu terus menggalang pembangkangan sipil rakyat terhadap pemerintah yang sah melalui gerakan parlemen jalanan. Sedangkan, di sisi lain, kelompok Islam yang berkuasa, yakni IM dan koalisinya, cenderung memaksakan kehendak dalam waktu singkat.

Kasus pembuatan konstitusi baru Mesir menjadi preseden buruk yang menebar benih-benih konflik antarkekuatan. Konstitusi baru lebih “berwarna” Islam, yang ditolak kalangan sekuler dan minoritas. Pun, masih banyak lainnya.

Seharusnya, kekuasaan dijalankan dengan mengakomodasi seluruh nilai dan kekuatan sehingga semua terwakili dengan baik. Ketidakpuasan akan selalu ada, namun hal itu dapat diminimalisasi dengan tingkat partisipasi rakyat yang lebih memadai.

Sedangkan, dari sisi rakyat, dapat kita baca bahwa psikologi rakyat Mesir yang selama 30 tahun hidup dalam kungkungan dan kediktatoran, menginginkan revolusi dapat mewujudkan kebebasan sejati dan kesejahteraan hakiki. Di tengah tingkat kemiskinan yang mencapai 50 persen dari jumlah penduduk 80 juta jiwa, rakyat yang tidak sabar menghadapi fakta kehidupan yang semakin sulit di era reformasi ingin segera ada pergantian kekuasaan.

Lewat fenomena tersebut, mereka berharap dapat merealisasikan harapan untuk hidup aman, damai, dan mampu membeli kebutuhan sehari-hari. Inilah dilema yang sesungguhnya dihadapi Mesir saat ini.

Tidak mudah menghadapi dan melewati masa transisi. Di banyak negara, termasuk Mesir, terbukti jalan terjal yang dilalui belum tentu membuahkan hasil sesuai harapan. Dalam konteks Mesir, para elite terbukti tidak mampu menahan diri.

Oposisi dan kelompok sekuler yang kalah dalam pemilu, tidak siap menerima kekalahan. Sedangkan, kelompok Islam yang menang terlalu bernafsu mewujudkan obsesi mereka, tanpa mereka sadari bahwa Mesir yang plural dan homogen adalah milik bersama.

Membangun negara yang demokratis tidak seperti membalik tangan. Amerika membutuhkan waktu 200 tahun lebih untuk menjadi negara demokrasi. Amerika dan Barat yang selama ini mengampanyekan demokrasi, terutama di negara-negara berkembang, seharusnya juga all out membantu mewujudkan demokrasi sejati tanpa tendensi apa pun.

Namun, sulit dielakkan, Barat juga mempunyai agenda tersembunyi. Kudeta militer di alam demokrasi apalagi terhadap pemerintahan sah yang dihasilkan melalui pemilu yang bebas jelas tidak dibenarkan. Biasanya, penentangan kudeta datang dari Barat. Namun, faktanya tidak ada penentangan itu. Demokrasi sejati tidaklah mengenal standar ganda.

Beruntunglah, Indonesia mampu melewati transisi demokrasi dengan baik dan mulus. Kata kuncinya, para elite menyadari pentingnya membangun konsensus bersama bagi tegaknya bangsa dan negara berdasarka pada kesepakatan bersama, yakni Pancasila, serta role model ideal, yaitu demokrasi. Ini menjadi pelajaran berharga bahwa transisi harus diimbangi dengan kesadaran kolektif akan pentingnya kehidupan yang demokratis dan sejahtera.

Direktur Pusat Kajian Timur Tengah dan Dunia Islam, Universitas Muhammadiyah Jakarta

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement