REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menegaskan penanganan manusia perahu (boat people) tidak bisa diserahkan kepada satu atau dua negara. Seperti Indonesia atau Australia. Hal tersebut pun dianggap tidak adil.
"Kedua negara sepakat, semua pihak harus ikut bertanggung jawab dan harus melakukan tindakan konkret. Tidak adil kalau ini hanya dibebankan ke Indonesia dan Australia," katanya di Istana Bogor, Jumat (5/6).
Ia mengatakan, Indonesia menerima ribuan manusia perahu dari negara-negara tertentu. Meski pun pemerintah telah melakukan banyak hal. Termasuk mencegah Indonesia dijadikan tempat perlintasan dari negara mana pun yang menuju Australia. Tetapi seringkali terjadi infiltrasi.
Ia pun beranggapan perlu kerja sama yang efektif dan sungguh-sungguh. Bukan hanya dibebankan kepada kedua negara. Tetapi negara lain yang menjadi penyumbang atau negara transit para manusia perahu. SBY berinisiatif dan dengan dukungan PM Australia, Kevid Rudd berencana untuk menyelenggarakan pertemuan untuk membahas hal tersebut. Tak hanya Indonesia-Australia, tetapi negara-negara yang menjadi negara asal manusia perahu.
"Kita undang negara-negara tertentu. Misalnya menurut statistik, boat people itu sebagian besar datang dari Afganistan, Iran, Myanmar. Sementara itu, negara transit bisa lewat Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Tujuannya hampir semua ke Australia," katanya.
SBY menginginkan agar negara-negara tersebut terlibat dan duduk bersama mencarikan solusi. Menurutnya, pertemuan tersebut akan lebih konkret dan riil untuk ditindaklanjuti. "Kami punya pandangan untuk segera lakukan kerja sama itu di samping kerja sama bilateral yang selama ini kita lakukan," katanya.