REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Pada malam kedatangan Bulan Suci Ramadhan, Ayah Alaa --yang berusia 20-an tahun-- nyaris tak memiliki kebahagiaan saat memikirkan kematian dua tetangganya dalam bentrokan antara penentang dan pendukung presiden terguling Muhammad Mursi.
"Keluarga saya berencana memajang hiasan warna-warni di jalan, lentera besar di depan rumah. Tapi, 30 Juni dan kematian teman-teman kami merusak momen menyenangkan seperti itu," kata perempuan itu kepada Xinhua.
Pada 30 Juni lalu, kelompok anti-Mursi turun ke jalan dalam jumlah jutaan guna menuntut penggulingan presiden Mesir tersebut. Mursi akhirnya digulingkan oleh kudeta militer pada Rabu (3/7).
Dalam suasana yang biasanya diwarnai karnaval, negara Arab Afrika tersebut sekarang tenggelam dalam ketegangan politik. "Jalan-jalan di permukiman mengibarkan bendera Mesir," kata Ayah Alaa.
Hanaa Ahmed, ibu rumah tangga yang berusia 55 tahun, mengatakan ia tak merasakan bulan suci seperti masa lalu. Demikian laporan Xinhua yang dipantau Antara di Jakarta pada Rabu pagi.
Bentrokan membuat mereka tak bisa mempersiapkan diri untuk menyambut bulan suci tersebut 15 hari sebelum kedatangannya. Seperti yang biasa mereka lakukan.
Rakyat Mesir dulu biasa memenuhi pasar sebelum bulan suci Ramadhan untuk membeli pasokan seperti kudapan Ramadhan. Tapi, para pedagang mengatakan usaha itu tidak menguntungkan sekarang.
"Angka penjualan merosot dibandingkan dengan masa sebelum 30 Juni," kata Amro Quotb, seorang pedagang "kudapan Ramadhan". ''Sekarang orang takut keluar rumah atau berjalan-jalan di jalan.''
Rehab Mohamed, akuntan yang berusia 30-an tahun, suka mengadakan jamuan buat keluarga dan temannya selama Ramadhan. Namun, ketika ia pergi pasar swalayan besar di pusat Kota Kairo untuk membeli makanan Ramadhan, pasar swalayan tersebut nyaris kosong.
"Shalat berjamaah bersama teman kami di masjid besar adalah pilar paling penting Ramadhan. Tapi, saya takut saya tak bisa pergi ke masjid tahun ini karena khawatir terhadap kerusuhan," kata wanita itu.
''Demonstran anti dan pro-Mursi menggunakan masjid sebagai mimbar untuk menyampaikan pidato yang dengan mudah dapat memicu bentrokan lisan lalu kerusuhan,'' tambahnya.
Selama bulan Ramadhan, jamuan dan tenda yang menawarkan makanan cepat saji buat orang miskin dan orang yang lewat dapat dilihat di sepanjang jalan setiap tahun. Jamuan yang biasanya menawarkan komoditas seperti pasta, nasi, dan gula dengan harga murah. Namun, kegiatan yang diselenggarakan oleh kelompok Ikhwanul Muslimin itu kini sudah sirna.
"Sebagai keluarga, kami tergantung atas jamuan semacam itu untuk memperoleh makanan kami," kata Mahmoud Ali, seorang penjaga pintu yang berusia 70-an tahun. "Hidup sangat mahal dan jamuan semacam itu menjadi semacam penyelamat buat orang yang lapar."