REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Amerika Serikat Barack Obama pada Selasa melakukan pembicaraan melalui telepon dengan dua sekutunya di Timur Tengah --Pangeran Mohammed bin Zayed dari Uni Emirat Arab dan Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad al-Thani-- untuk membahas kekhawatiran soal unjuk rasa yang diwarnai kekerasan di Mesir.
Pembicaraan telepon itu dilakukan pada hari yang sama ketika negara-negara Arab Teluk menawarkan bantuan senilai delapan miliar dolar AS (Rp79,6 triliun) bagi Kairo setelah penggulingan kekuasaan oleh militer.
Gedung Putih mengatakan pihaknya tidak akan segera memutus bantuan kepada Mesir saat AS mengkaji situasi yang tegang dan sedang berkembang di negara tersebut.
"Presiden mendorong Uni Emirat Arab dalam hubungannya dengan Mesir untuk menggarisbawahi pentingnya semua pihak di negara itu menghindarkan kekerasan serta untuk mengambil langkah-langkah yang bisa menciptakan dialog dan rekonsiliasi," kata Gedung Putih dalam sebuah pernyataan tentang isi pembicaraan lewat telepon yang dilakukan Obama dan Pangeran Mohammed bin Zayed.
"Presiden dan Emir Tamim sepakat bahwa proses politik yang melibatkan semua pihak dan kelompok adalah hal yang sangat penting bagi stabilitas Mesir," kata Gedung Putih dalam pernyataan terpisah tentang hubungan teleponnya dengan Emir Qatar.
Amerika Serikat secara hati-hati menyambut baik rencana pemerintahan sementara Mesir untuk menyelenggarakan pemilihan segera namun belum membahas apa yang disebut juru bicara Gedung Putih Jay Carney sebagai "masalah besar yang tidak ingin dibicarakan" tentang apakah kudeta memang telah terjadi.
Secara hukum, pemerintah Amerika Serikat diharuskan untuk menghentikan bantuan kepada Mesir jika campur tangan militer dikategorikan sebagai kudeta.