Rabu 10 Jul 2013 20:20 WIB

Australia Bakal Gelar Referendum untuk Akui Aborigin

Kevin Rudd
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Kevin Rudd

REPUBLIKA.CO.ID, SYDNEY --  Perdana Menteri Australia Kevin Rudd  dalam peringatan 50 tahun gerakan hak atas tanah adat, menjanjikan referendum untuk mengakui Aborigin negara itu dalam konstitusi jika Partai Buruh terpilih kembali.

Pendahulunya, Julia Gillard, memetieskan rencana menyelenggarakan pemungutan suara dalam masa parlemen kali ini, merujuk pada rendahnya dukungan publik, namun Rudd menjelaskan bahwa pengakuan atas orang Aborigin sebagai penduduk pertama negara itu adalah prioritas.

"Oleh karena itu, saya sebagai perdana menteri ingin melihat masalah ini dibawa kepada rakyat Australia melalui referendum dalam waktu dua tahun pemilihan parlemen berikutnya," katanya, dengan jajak pendapat nasional dijadwalkan pada akhir tahun ini.

Rudd mengatakan ia ingin bekerja dengan oposisi konservatif yang dipimpin oleh Tony Abbott untuk menyusun pertanyaan yang tepat.

"Saya ingin kita setuju pada pertanyaan yang akan diajukan kepada rakyat Australia," katanya kepada wartawan.

"Tidak ada lagi penundaan, tidak ada alasan lagi... Ini waktunya negara ini membahasnya. Itu adalah komitmen saya kepada Anda. "

Setiap perubahan konstitusi Australia harus disetujui melalui referendum nasional yang mana semua warga negara memberikan suara, namun surat suara seperti itu biasanya memiliki tingkat keberhasilan rendah.

Rudd berbicara menjelang sebuah acara di komunitas Aborigin terpencil Yirrkala di utara negara itu, tempat gerakan hak atas tanah adat dimulai 50 tahun yang lalu dengan penandatanganan dua petisi memprotes rencana pemerintah untuk menyita blok besar tanah guna pertambangan bauksit.

Petisi itu menegaskan bahwa orang-orang Yolngu memiliki tanah tersebut, dan menjadi dokumen suku asli pertama yang diakui oleh parlemen Australia.

Sekalipun mereka gagal untuk memenangkan kasus mereka di pengadilan, petisi itu mendorong gerakan untuk pengakuan pada Aborigin sebagai warga negara penuh pada 1967, dan pengakuan hukum hak atas tanah pada tahun 1976.

"Petisi-petisi ini memberikan sebuah jembatan antara dua tradisi kuno dan mulia," kata Rudd.

"Delapan ratus tahun yang lalu kami punya Magna Carta, 800 tahun kemudian, petisi-petisi Yirrkala."

"Petisi ini adalah Magna Carta bagi masyarakat adat tanah ini. Keduanya (adalah) suatu pernyataan hak ...karena itu keduanya menjadi simbol keadilan bagi semua orang di mana pun," katanya.

Magna Carta tahun 1215 adalah salah satu dokumen pendiri sistem hukum Inggris, menetapkan piagam kebebasan untuk raja dan mensyaratkan bahwa ia dan semua penguasa masa depan mematuhi aturan hukum.

Warga Aborigin Australia adalah yang paling dirugikan, dengan anak-anak pribumi dua kali lebih berpeluang meninggal sebelum ulang tahun kelima mereka dibandingkan anak-anak lain dan pria Aborigin diperkirakan meninggal 11,5 tahun lebih awal daripada pria yang lain.

Mereka diyakini berjumlah sekitar satu juta orang pada saat pendudukan Inggris di tahun 1788, tetapi sekarang hanya 470 ribu orang dari total 23 juta populasi Australia.

Anggota parlemen Australia secara resmi mengakui masyarakat adat sebagai penduduk pertama negara itu awal tahun ini.

Langkah itu muncul lima tahun setelah Rudd, dalam periode pertama masa jabatannya sebagai perdana menteri, melakukan permintaan maaf bersejarah kepada Aborigin atas kesalahan yang dilakukannya sejakkedatangan pemukim Inggris, termasuk pemindahan paksa anak-anak dari orangtua mereka.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement