REPUBLIKA.CO.ID, Perempuan Mesir masih menjadi korban dan obyek utama dari kekerasan seksual. Ini pun berlaku pada para demonstran perempuan Mesir. Mereka sering diperlakukan semena-mena di Lapangan Tahrir setelah protes dan penggulingan Presiden Muhammad Mursi berlangsung.
Menurut Human Right Watch (HRW), selama periode empat hari di pekan lalu saja, 91 wanita menjadi korban kekerasan seksual selama protes yang menggulingkan Presiden Mursi. Angka itu, menurut HRW yang berhasil dilaporkan dan masih ada kemungkinan kasus yang tak terungkap.
Dalam video yang ditayangkan oleh lembaga itu pekan lalu, Hania Moheeb mendeskripsikan bagaimana demonstrasi damai di Lapangan Tahrir bulan lalu berubah menjadi mimpi buruk. "Mereka membuat lingkaran rapat di sekeliling saya, mereka lalu mulai meraba-raba tubuh saya, menyentuh seluruh tubuh saya dan melakukan kekerasan di setiap inci tubuh saya. Saya begitu trauma dan saya hanya berteriak saat itu," tuturnya seperti dikutip oleh Deutsche Welle
Beberapa kejahatan terhadap perempuan yang terjadi, dilakukan oleh militer dan polisi Mesir. Sebut saja Mona Eltahawy, seorang jurnalis yang tangannya dipatahkan oleh tentara mesir. Juga ada Samira Ibrahim, seorang demonstran muda yang menggugat pemerintah, menuduh seorang dokter karena ada tentara yang secara paksa mengirimnya mengikuti tes keperawanan.
Kini Mesir dinilai lebih dari sekedar merusak kehormatan wanita setelah muncul kasus pemerkosaan terhadap wartawan asing. Pemerkosaan wartawan asing dinilai berbagai media sebagai cara kotor untuk mencari perhatian dunia. Dina Zakaria, seorang wartawan Mesir, melaporkan bahwa pria yang memperkosa wartawan Belanda pekan lalu menyebut diri mereka "revolusioner."
Belum lama ini, pengkhotbah Salafi Mesir Ahmad Mahmoud Abdullah mengatakan, demonstran wanita di Tahrir Square "tidak memiliki rasa malu dan ingin diperkosa". Ikhwanul Muslimin menegaskan tidak akan mendukung pernyataan seperti itu.
Tetapi mereka juga tidak dapat menyembunyikan fakta bahwa di parlemen Mesir tercatat perempuan hanya menduduki delapan kursi dari 498 kursi yang ada. Empat dari delapan perempuan berasal dari partai Ikhwanul Muslimin. Parlemen ini pun sudah dibubarkan.
Perempuan hanya mendapat ruang sebanyak 7% dari majelis konstitusi yang menyusun undang-undang dasar Mesir. Menurut draf konstitusi, perempuan adlaah saudara perempuan, ibu dan kerabat keluarga. Mereka, masih menurut konstitusi, bukan pekerja apalagi sosok yang masuk ke ranah politik dan berhubungan dengan kepentingan publik.
Beruntungnya, kini masih banyak perempuan mesir yang dibolehkan bekerja. Draf konstitusi itu telah disetujui oleh referendum pada Desember 2012 lalu.
Mesir dinilai menjadi tempat hidup yang jahat dan kasar bagi perempuan yang berumur panjang. Tahun lalu, sebuah survei UNICEF menunjukkan bahwa 91% dari perempuan Mesir antara usia 15-49 mengatakan mereka harus menjalani mutilasi alat kelamin perempuan.
Badan PBB untuk Kesetaraan Gender melaporkan bahwa 99,3% dari perempuan Mesir yang telah diwawancara mengatakan mereka telah mengalami beberapa bentuk kekerasan seksual. Korban perkosaan hampir tidak pernah pergi ke rumah sakit, apalagi ke polisi. Tidak ada penanganan medis khusus untuk korban pemerkosaan. Polisi pun bahkan memperlakukan korban sebagai pelacur.