Jumat 12 Jul 2013 11:40 WIB

Remaja AS yang Tewas Akibat Senjata Api Kian Meningkat

Foto Penembakan New Orleans
Foto: Reuters
Foto Penembakan New Orleans

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Rasio remaja Amerika Serikat yang tewas karena pembunuhan dengan senjata api dalam 30 tahun terakhir hampir empat kali lebih banyak dibandingkan dengan metode lain seperti menusuk, mencekik atau penggunaan racun, menurut sebuah penelitian yang diumumkan Kamis.

Penelitian itu diumumkan tiga bulan setelah Senat Amerika Serikat gagal menyetujui sejumlah aksi pengendalian kepemilikan senjata, termasuk pemeriksaan latar belakang yang diperluas kepada para pembeli senjata dan larangan kepemilikan senjata api serang dan majalah senjata tingkat tinggi.

Upaya itu dilakukan pasca penembakan massal pada bulan Desember di Sekolah Dasar Sandy Hook, Newtown, Connecticut, yang mana sang pelaku membunuh 20 anak-anak dan enam orang dewasa.

Penelitian itu, yang dilakukan oleh Laporan Mingguan Morbiditas dan Mortalitas Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC), menilai tingkat pembunuhan terhadap kelompok usia antara 10 sampai 24 tahun dari tahun 1981 sampai 2010. Hasilnya, senjata api bertanggung jawab pada lebih banyak kematian akibat pembunuhan di periode akhir penelitian, dengan hampir 4.000 dari 4.800 korban pembunuhan pada tahun 2010 dibunuh dengan menggunakan senjata api.

"Ini menunjukkan kebutuhan yang berkembang untuk fokus pada kekerasan di usia muda sebagai isu terpisah dan fokus secara khusus pada peran yang dimainkan oleh senjata api," kata Josh Sugarmann, direktur eksekutif Pusat Kebijakan Kekerasan, organisasi penelitian dan advokasi nirlaba yang mengkaji kekerasan senjata api.

Penelitian ini juga menemukan bahwa tingkat pembunuhan remaja memuncak pada 1993, kemudian menurun dan mencapai titik terendah dalam 30 tahun terakhir pada tahun 2010, meskipun tingkat penurunan telah melambat sejak tahun 2000.

"Ini tentu berita yang baik bahwa kita melihat penurunan dan mengalami titik terendah dalam 30 tahun, tapi ini juga menunjukkan kepada kita bahwa kita perlu melanjutkan dan meningkatkan upaya kita," kata Corinne David-Ferdon, seorang ilmuwan perilaku di Pusat Pencegahan Kekerasan dan Cedera di CDC yang juga salah satu penulis penelitian tersebut.

"Kita harus terus melanjutkan dan mendorong sejumlah penurunan yang kita capai dari waktu ke waktu dan memperluas penelitian serta pemberlakuan praktek pencegahan," tambahnya.

Penelitian ini menemukan bahwa kelompok laki-laki berusia 20-24 tahun dan kelompok kulit hitam lebih banyak terbunuh dari rata-rata keseluruhan.

Penelitian itu menunjukkan jika strategi pencegahan secara ilmiah terbukti mengurangi kekerasan terhadap remaja, termasuk program berbasis sekolah yang menekankan pada komunikasi dibandingkan kekerasan, peraturan orang tua atau wali, dan pemantauan kegiatan anak-anak, serta meningkatkan keamanan dan memberi anak kesempatan lebih banyak di bidang sosial di lingkungannya.

"Kita telah membuktikan bahwa kita berhasil membuat kemajuan dalam mengurangi kekerasan remaja, tapi penelitian ini juga menunjukkan bahwa kemajuan ini melambat dan pembunuhan masih merupakan penyebab utama kematian, "kata David-Ferdon.

"Sangat penting bagi kita untuk menjalankan program ini terhadap remaja untuk membantu mencegah perkembangan sikap dan perilaku kekerasan pada awal masa kanak-kanak dan usia menengah. "

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement