CANBERRA -- Memperketat akses ke Malaysia dan Indonesia, boleh jadi lebih bisa membendung arus pencari suaka daripada kebijakan domestik yang sedang dipertimbangkan di Australia, demikian menurut seorang pelaku penyelundupan manusia.
Seorang penyelundup manusia di Indonesia mengatakan kepada ABC, kebijakan dalam negeri yang sedang dipertimbangkan di Australia tidak ada yang bisa menghentikan kapal pencari suaka.
Pemerintah Federal Australia sedang mencari jawaban bagi masalah pencari suaka menjelang pemilu mendatang. Sumber yang minta namanya dirahasiakan itu mengatakan, langkah yang diusulkan -seperti menyuruh balik kapal atau mempersulit diperolehnya status pengungsi- tidak akan cukup.
Menrurut dia, sudah terlalu banyak orang yang berusaha menyingkir dari maut dan penindasan, dan faktor itu lebih besar artinya bagi mereka daripada upaya Australia untuk mencegah kedatangan mereka.
Orang itu mengaku terlibat dalam pelayaran sekitar 12 kapal yang tiba di Australia tahun ini. Ia bersedia berbicara kepada ABC dengan syarat tidak diungkapkan identitasnya.
Ia berpendapat, penyelundupan manusia tidak akan terancam oleh kebijakan domestik yang sedang dipertimbangkan di Australia.
Ia juga mengatakan, kondisi di pusat detensi pulau Nauru dan Manus juga tidak menjadi penghalang. "Paling tidak mereka bisa hidup di situ, kan? Mereka tinggal di sana selama 10 atau 20 tahun, tapi mereka akan hidup. Mereka tidak akan mati terbunuh, tidak akan kena bom. Mereka akan selamat," katanya.
Ditambahkannya, kebijakan domestik pemerintah Australia tidak bisa bersaing dengan ancaman maut di tempat-tempat seperti Afghanistan dan Pakistan, yang merupakan pendorong utama di balik permintaan akan penyelundupan manusia.
Pelayaran yang berbahaya dan berdatangannya kapal pencari suaka menimbulkan tekanan politik bagi pemerintah Australia agar mencari solusi.
Pemilu di Australia sudah kian dekat dan perdebatan mengenai pencari suaka menjadi kian sengit. Tapi penyelundup manusia tadi mengatakan, kondisi buruk di negara-negara asal pencari suaka terlalu sulit untuk dihentikan.
Ia sudah melihat rincian opsi kebijakan Australia dari kedua partai utama. Tapi ia mengatakan, orang-orang dalam jaringannya dan para pencari suaka menilai tidak ada di antara opsi itu yang akan bisa menghentikan arus pengungsi ke Australia.
Sebagai bukti, ia menyebutkan reputasi buruk dari kondisi di pusat detensi pencari suaka pulau Nauru dan Manus, yang masih juga tidak berhasil menjadi penghalang.
Ia mengaku mendapat 40 ribu dolar untuk setiap kapal yang diberangkatkan. Tapi sekarang, menurut pengakuannya, ia sudah berhenti mengatur pelayaran kapal dan mengurusi transfer uang saja.
Ia mengaku jaringannya meliputi Afghanistan, Pakistan, Iran, Dubai, Malaysia dan Indonesia.
Ia berpendapat, kebijakan menyuruh balik kapal boleh jadi punya dampak sedikit. Tapi ia meragukan dampaknya akan berlaku jangka panjang, karena tidak mungkin mengawasi terus menerus, sementara orang akan terus mencoba untuk masuk.
Selain itu, katanya, mempersulit diperolehnya status pengungsi begitu berada di Australia juga tidak akan menjadi halangan untuk para pencari suaka.
Tapi dikatakannya, menangkapi semua penyelundup manusia boleh jadi bisa efektif. Akan tetapi karena mereka menyogok pihak berwenang setempat di Indonesia, mereka tidak akan ditahan.
Ia mengatakan, kalau pihak berwenang bisa menutup perbatasan ke Malaysia dan Indonesia, itu boleh jadi bisa menutup jalan menuju Australia.
Disclaimer:
Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement