REPUBLIKA.CO.ID, JUBA -- Sudan Selatan berencana akan menjual 6,4 juta barel minyak atau setara 300 juta dolar AS sebelum menutup seluruh produksinya di akhir Juli 2013. Hal ini dilakukan karena adanya dugaan pemberontakan akibat perselisihan dengan negara tetangga, Sudan.
Bulan lalu satu-satunya negara ekspor minyak Sudan Selatan, Sudan menyatakan, akan menutup dua pipa minyak lintas perbatasan dalam 60 hari. Sudan bersikeras menutup output pada 7 Agustus kecuali Sudan Selatan menyerahkan dukungan kepada pemberontak.
Namun Juba membantah mendukung pemberontakan. Penutupan pipa tersebut merupakan kabar buruk bagi kedua negara yang telah lama menjalani perang saudara sebelum akhirnya berpisah pada 2011.
Diplomat Sudan Selatan khawatir negara akan kolaps tanpa minyak. Karena minyak merupakan sumber utama mereka untuk memperoleh dana anggaran negara. Menutup sumur minyak juga merupakan kabar buruk bagi Sudan yang telah berjuang keras sejak kehilangan sebagian besar cadangan minyak sejak berpisah dari Sudan Selatan. Padahal cadangan minyak dari Juba akan menurunkan tingkat inflasi Sudan.
Sudan Selatan hanya akan memproduksi minyak di April, setelah mematikan pompa sumur yang menghasilkan 300 ribu barel per hari di Januari 2012. Hal itu dilakukan karena kedua negara gagal menemukan kesepakatan mengenai harga jaringan pipa.
Orang dalam industri mengungkapkan sekali jaringan pipa ditutup, dibutuhkan waktu beberapa bulan untuk memproduksi kembali. Karena jaringan pipa perlu dibersihkan terlebih dulu. Sudan Selatan telah menjual satu juta barel minyak mentah di Juni.
Menteri Energi Sudan Selatan Stephen Dhieu mengatakan negara tersebut masih memiliki kontrak penjualan minyak di Juli sebanyak 2,2 juta barel dan 3,2 juta barel di Agustus. "Kami masih memiliki sejumlah minyak mentah di pipeline untuk memenuhi kebutuhan ini," kata Dhieu seperti dilansir laman Reuters, Senin (22/7).
Sudan Selatan berkomitmen tetap akan mengalirkan minyak dan tidak mendukung pemberontak. Dhieu menilai tidak ada manfaatnya bagi kedua negara jika pipa tersebut ditutup. Penutupan tidak akan membawa kedamaian atau menghentikan pemberontakan di Sudan.
"Ini akan memberi dampak negatif bagi kedua negara dan ekonomi negara akan menderita," kata Dhieu. Sudan akan mendapatkan honor pipeline senilai 100 juta dolar A sampai penutupan ladang minyak.