REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Presiden Zimbabwe Robert Mugabe mengatakan bahwa mantan Perdana Menteri (PM) Inggris Tony Blair adalah sosok yang bertanggung jawab atas masalah yang tengah dihadapi negaranya.
Pernyataan yang dikemukakan di tengah masa pemilihan umum krusial di negara berpenduduk lebih dari 12 juta jiwa itu disampaikan Mugabe saat melakukan wawancara dengan televisi ITV News asal Inggris.
Dalam wawancara itu, Mugabe menyalahkan Blair yang telah memberlakukan sanksi terhadap negaranya sekaligus mengaku tidak pernah menyesal selama 33 tahun menjadi Presiden Zimbabwe.
Ketika ditanya apa akar permasalahan kehancuran ekonomi Zimbabwe, yang mengakibatkan inflasi hingga 79,6 juta persen per bulan pada 2008, Mugabe menjawab pemerintah Inggris terutama pada masa kepemimpinan Blair lah yang menjadi penyebabnya.
"Dia (Tony Blair) lah yang menyebabkan hal tersebut, dia tidak pernah mau berdialog, pemerintahan macam apa yang memilih untuk memberlakukan sanksi terhadap kami," kata pemimpin veteran itu, Selasa (30/7) waktu setempat.
Mugabe sempat mengatakan "go to hell" kepada Tony Blair ketika pada 2002 lalu karena PM Inggris itu mendukung pihak oposisi sebelum pemilu berlangsung dan menuduh Inggris telah mencampuri urusan dalam negeri Zimbabwe.
Mugabe berjanji akan mundur jika dia kalah dalam pemilu, yang dianggap sarat dengan kecurangan oleh lawan politiknya.
Dia mengatakan kepada ITV News bahwa istilah kecurangan pemilu merupakan persepsi pihak asing.
"Kami tidak pernah sekalipun melakukan kecurangan dalam pemilu, saya tidak pernah menyesali apapun," ujarnya.
Mugabe berhadapan dengan serangkaian aksi kekerasan dan pemilu yang diliputi kecurigaan. Dia telah memerintah selama 33 tahun sejak Zimbabwe memeroleh kemerdekaan dari Inggris.
Zimbabwe merupakan negara terkurung daratan yang terletak di selatan benua Afrika. Negara yang tergolong misikin tersebut berbatasan dengan Afrika Selatan di sebelah selatan, Botswana di barat, Zambia di utara dan Mozambik di timur.
Inflasi di negara itu tercatat sebagai inflasi tertinggi di dunia, yang memaksa Bank Sentral Zimbabwe mengeluarkan empat versi mata uang hingga kini.