Kamis 01 Aug 2013 04:34 WIB

Pemuda Arab Ternyata Terasing dari Politik

Rep: Ichsan Emrald Alamsyah/ Red: M Irwan Ariefyanto
Aksi unjuk rasa berlanjut setelah PM Tunisia Hamadi Jebali mundur dari jabatannya
Foto: euronews.com
Aksi unjuk rasa berlanjut setelah PM Tunisia Hamadi Jebali mundur dari jabatannya

REPUBLIKA.CO.ID,“Berikan aku 10 pemuda maka akan kuguncang dunia.”

Kalimat itu pernah diujarkan secara berapi-api oleh sang proklamator Indonesia, Sukarno. Dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, peran pemuda sangatlah nyata. Dimulai dari proklamasi hingga demonstrasi luar biasa untuk menjatuhkan mantan presiden Soeharto pada 1998, para pemuda berperan besar di dalamnya.

Tidak demikian halnya dengan negara-negara Arab. Para pemuda di sana, menurut laporan terbaru Pusat Studi Aljazirah, justru merasa terasing dari kehidupan politik di negerinya. Survei ini melibatkan para pemuda di Mesir, Tunisia, Libya, dan Yaman.

“Sebagian besar dari 8.045 perempuan dan pria berumur 17-31 tahun di empat negara itu bahkan tak percaya bahwa parlemen yang baru terpilih mewakili mereka,” begitu bunyi sebagian laporan itu.

Di sebuah negara, pemuda mestinya menjadi kekuatan sosial utama yang mendorong terjadinya perubahan. Namun, di empat negara itu, kaum mudanya justru tak memainkan peran signifikan dalam gelombang perubahan. Mereka juga merasa tak diikutsertakan dalam kelahiran kembali negara mereka pasca-Arab Spring.

Studi Aljazirah ini menemukan, sebanyak 81 persen pemuda di Tunisia merasa bahwa para wakil rakyat di Majelis Konstituante sama sekali tak mewakili mereka. Hanya 17 persen yang merasa sebaliknya. Sedangkan di Mesir , sebanyak 72 persen responden merasa mereka tak diwakili oleh anggota parlemen dan hanya 24 persen yang meyakini hal tersebut. Di Libya, 62 persen kaum muda menilai Majelis Nasional tak mewakili mereka.

Arab Spring pertama kali muncul di Tunisia. Dimulai dengan Revolusi Jasmine, rakyat di negara itu menggulingkan diktator Zine El Abidine Ben Ali. Negeri itu pun kemudian mengadopsi konstitusi sementara dan menyelenggarakan pemilu secara bebas dan adil.

Negeri ini pun dianggap sudah menjalankan praktik negara demokratis. Meski demikian, hanya 14 persen pemuda Tunisia yang menilai, revolusi penggulingan Ben Ali merupakan langkah sukses.

Lain halnya dengan Libya. Pada 20 Oktober 2011 pemimpin negara ini, Muamar Qadafi, tewas di tangan Dewan Transisi Nasional. Revolusi di Libya diawali dengan pemberontakan yang bertujuan mendongkel Qadafi dari kursi kepresidenan yang telah diduduki selama 42 tahun. Dalam survei ini diketahui, 64 persen pemuda Libya meski kecewa dengan lembaga politik mereka, menganggap pemberontakan telah berhasil menggulingkan Qadafi.

Sedangkan di Yaman, setahun setelah Ali Abdullah Saleh tumbang, jutaan rakyat memilih Abd Rabbu Mansour Hadi sebagai presiden pada Februari 2012. Namun, hanya 37 persen remaja yang percaya revolusi telah berhasil.

Lebih parah lagi di Mesir. Meski studi ini tak memperhitungkan sentimen di kalangan pemuda Mesir sejak penggulingan Presiden Muhammad Mursi, hanya 17 persen remaja negeri ini yang percaya bahwa revolusi yang berujung pada pelengseran Husni Mubarak telah berhasil.

Dalam survei itu juga terungkap bahwa pemuda dari empat negara itu memiliki kesadaran ikatan agama yang kuat. Mereka mengindentifikasi diri sebagai Muslim sebelum menyebutkan identitas kebangsaan mereka. Terkecuali, pemuda Mesir yang lebih banyak mengindentifikasi diri sebagai rakyat Mesir sebelum menyebut sebagai Muslim.

Sebagian besar pemuda di empat negara itu juga meyakini syariah atau hukum Islam merupakan sumber penting undang-undang. Dukungan terbesar berasal dari Libya (93 persen), Yaman (89 persen), Tunisia (64 persen), dan Mesir 57 persen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement