REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Pusat Kajian Timur Tengah dan Dunia Islam (PKTTDI) Universitas Muhammadiyah Jakarta Hery Sucipto mengatakan penggulingan militer terhadap pemerintahan yang sah di Mesir akan menjadi awal konflik berkepanjangan di negeri piramida itu. Apalagi jika kedua belah pihak yang berseteru tidak ada inisiatif untuk melakukan rekonsiliasi.
"Penggulingan pemerintahan yang sah akan menimbulkan masalah dan akan membuat masa depan politik Mesir semakin rumit," ujar Hery pada acara "Indonesia Peduli Mesir" di Masjid Al Azhar Kebayoran Baru Jakarta Selatan Sabtu (3/8).
Menurut Hery jika sekuler militer Mesir tidak setuju terhadap kebijakan pemerintahan yang dipimpin oleh Mursi, maka mereka semestinya menunggu hingga terselenggaranya pemilu empat tahun lagi. Kudeta militer yang dilakukan saat ini sebelum masa pemerintahan Mesir berakhir, Hery mengatakan, tidaklah bijak karena menimbulkan korban jiwa dari masyarakat sipil.
"Militer bisa berkompetisi di pemilu. Itu cara yang sah untuk penggantian pemerintahan di negara mana pun," ujarnya.
Hery mengatakan kudeta militer Mesir merupakan preseden buruk bagi pembangunan kehidupan demokratis di dunia Islam.
Meskipun, dalam sejarahnya, tutur Hery, dinamika kehidupan politik Mesir memang sarat dengan kudeta militer. Ia mencontohkan tahun 1952 dimana pimpinan Mesir Raja Faruk digulingkan oleh Najib yang kemudian mengubah Mesir dari kerajaan menjadi republik. Hingga kemudian kudeta militer pada pemerintahan Najib dilakukan oleh Gammal Abdul Nasser hingga seterusnya Gammal digantikan oleh Anwar Sadat dari militer.
Ikhwanul Muslimin yang beberapa waktu lalu secara mengejutkan memenangkan pesta demokratis pun akhirnya tak lepas dari penggulingan militer.
"Jadi dari segi aspirasi politik memang dikekang oleh militer," ujarnya.
Hery mengungkapkan Ikhwanul Muslimin merupakan satu-satunya ormas di Mesir yang rapi dan anggotanya terdiri dari profesional. Sehingga ketika pemilu, mereka pun menang dan diberi amanat oleh rakyat Mesir.
Hery pun menilai munculnya Ikhwanul Muslimin di panggung politik Mesir cukup siap hanya permasalahannya Ikhwanul Muslimin muncul pada saat yang sulit dan kurang tepat.
"Kemunculan mereka membuat negara di luar Mesir terutama Eropa dan AS menjadi terkejut dan sangat takut," kata dia.
Negara-negara di dunia Arab sendiri, lanjut Hery, cenderung memusuhi Mursi. Ketika pemerintahan Mursi jatuh, mereka bersyukur dan memberikan bantuan finansial pada pemerintahan sementara yang berlaku saat ini.
"Saya melihat ada fakta negara-negara Arab seperti Arab Saudi atau Uni Emirat Arab, dan negara petro dollar lainnya secara ideologis tidak segaris dengan ide Ikhwanul Muslimin. Jadi lebih pada ketidaksukaan pada idelologis Ikhwanul Muslimin. Karena soal ideologi berkaitan dengan pengaruh," jelasnya.
Lebih lanjut Hery menyatakaan kisruh politik Mesir yang terjadi saat ini akan menjadi barometer Arab Spring kedua untuk membasmi Islam politik agar tidak berkuasa di pemerintahan seperti yang terjadi di Tunisia, Libya, Suriah, dan Malaysia.
Pihak yang paling takut jika kelompok Islam menguasai politik, kata dia, adalah Amerika Serikat dan Israel.
"Terutama Israel ya karena berkaitan dengan Palestina. Ketika Mursi berkuasa, perbatasan Ramalah dibuka sehingga bantuan kemanusiaan untuk Palestina pun mengalir," tuturnya.
Dalam konteks politik luar negeri Indonesia, Hery menyayangkan sikap tidak tegas pemerintah Indonesia.
Seharusnya, ia menuturkan, pemerintah dapat mengambil tindakan tegas karena tidak ada resikonya terhadap kondisi politik tanah air.
"Kudeta militer itu tidak dibenarkan. Pembelaan Indonesia dengan cara tidak mengakui pemerintah militer Mesir yang sekarang menunjukkan pemerintah berani bersikap tegas," ujarnya.
Ia pun menilai pemerintah Indonesia cendrung bermain aman. Padahal politik luar negeri Indonesia bebas aktif apalagi secara histotis Mesir merupakan negara yang pertama mengakui kedaulatan Indonesia yang kemudian disusul negara-negar Arab lainnya.
"Saya mendesak pemerintah Indonesia harus berbuat konkrit terhadap Mesir karena bagaimana juga masyarakat disana menderita. Minimal sikap Indonesia atas nama kemanusiaan," ujarnya.
Hery menambahkan apa yang terjadi di Mesir tidak akan terjadi di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan berbedanya karakteristik masyarakat dan dinamika politik Indonesia.
"Terlalu jauh jika kejadian Mesir diperkirakan akan terjadi di Indonesia karena karakteristik masyarakat dan politik kita beda. Masyarakat kita lebih mengedepankan kedewasaan dalam berpolitik dan lebih memilih jalur damai," ujarnya.