REPUBLIKA.CO.ID, PHNOM PENH -- Satu bom yang diletakkan oleh beberapa yang pria tak dikenal meledak pada Rabu (7/8) pagi di dekat gedung pengadilan di Ibu Kota Kamboja, Phnom Penh. Namun, menurut Kepala Polisi Phnom Penh, Chuon Sovan, peristiwa tersebut tak merenggut korban.
Peristiwa itu terjadi pukul 01.05 waktu setempat, Rabu (7/8), ketika satu bom rakitan, yang ditaruh di tempat sampah di luar pagar Pengadilan Kotapraja Phnom Penh meledak. "Tak seorang pun cedera dalam peristiwa tersebut ... Kami menyimpulkan pelakunya bertujuan menimbulkan gangguan dan kerusuhan di masyarakat," kata kepala polisi itu melalui telepon kepada Xinhua.
Menurutnya, polisi belum bisa memastikan identitas pelaku dan penyelidikan sedang dilakukan. "Itu adalah untuk pertama kali dalam satu dasawarsa satu bom telah meledak di Ibu Kota Kamboja, Phnom Penh," tambah Sovan.
Peristiwa tersebut terjadi cuma 10 hari setelah pemilihan umum. Partai Rakyat Kamboja (CPP), yang berkuasa dan dipimpin Perdana Menteri Hun Sen telah mengakui kemenangan, tapi kelompok oposisi utama Partai Penyelamatan Nasional Kamboha (CNRP) menolak hasil tersebut. Hasil awal itu memperlihatkan CPP meraih 68 dari 123 kursi di parlemen, sedangkan oposisi, CNRP, mengantungi sis 55 kursi.
Dalam pertemuan terbuka pada Selasa (6/8), Ketua CNRP Sam Rainsy berulangkali memperingatkan ia akan memimpin protes masal guna menentang hasil pemilihan umum itu. "Kami mendesak semua rakyat agar bangkit untuk melindungi kemenangan kami," katanya. Ia mengaku partai oposisinya, CNRP, telah meraih 63 kursi, sedangkan CPP meraup 60 kursi.
Kem Sokha, Wakil Presiden CNRP, mengatakan partai tersebut akan memboikot sidang pertama mendatang parlemen jika tututannya bagi pembentukan komite penyelidik pemungutan suara dukungan PBB tak dipenuhi. "Kami berikrar di depan anda semua bahwa jika mereka tak menemukan keadilan buat kita, kami takkan bergabung dengan sidang pertama Majelis Nasional," kata Sokha di hadapan sebanyak 3.000 pendukung CNRP di Phnom Penh pada Selasa (6/8).
Komite Pemilihan Umum Nasional Kamboja (NEC) menyatakan lembaga itu takkan membiarkan PBB bergabung dalam komite penyelidik gabungan sebab itu bertentantangan dengan hukum Kamboja. "Di luar wewenang NEC untuk mengundang wakil PBB agar ikut dalam komite yang diusulkan," kata Ketua NEC Im Suosdey kepada wartawan pada Ahad (4/8).