REPUBLIKA.CO.ID, SANAA -- Serangan pesawat tak berawak AS menewaskan sedikitnya delapan terduga militan Alqaidah di Yaman, Kamis, kata sejumlah pejabat.
Dengan korban-korban terakhir itu, jumlah orang yang terbunuh dalam serangan pesawat tak berawak AS menjadi sedikitnya 25 dalam waktu kurang dari dua pekan.
Serangan udara itu dilakukan setelah
Yaman mengumumkan Rabu bahwa mereka telah menggagalkan rencana serangan Alqaidah untuk menguasai dua terminal utama ekspor minyak dan gas dan sebuah ibu kota provinsi di wilayah timur negara itu.
Peringatan mengenai serangan-serangan telah membuat Washington menutup misi-misinya di Timur Tengah, dan AS serta Inggris mengungsikan staf mereka dari Yaman.
Sejumlah saksi dan pejabat setempat di Maareb, sebuah kawasan yang sebagian besar gurun di wilayah tenggara dimana militan berpangkalan, mengatakan, sebuah pesawat tak berawak menembaki dua kendaraan yang diduga mengangkut militan-militan Alqaidah pada saat fajar, menewaskan enam orang.
Dua orang lagi tewas di wilayah timur, Hadramout, dalam serangan serupa, kata beberapa pejabat lokal.
Sedikitnya 25 terduga militan tewas sejak 28 Juli, ketika serangan pesawat tak berawak menewaskan sedikitnya empat anggota Ansar al-Sharia, kelompok militan lokal yang terkait dengan Alqaidah Yaman AQAP.
Militan Al Qaida memperkuat keberadaan mereka di kawasan tersebut, dengan memanfaatkan melemahnya pemerintah pusat akibat pemberontakan anti-pemerintah yang meletus pada Januari 2011 yang akhirnya melengserkan Presiden Ali Abdullah Saleh.
Ofensif pasukan Yaman yang diluncurkan pada Mei 2011 berhasil menghalau militan Alqaidah dari sejumlah kota dan desa di wilayah selatan dan timur yang selama lebih dari setahun mereka kuasai.
Yaman adalah negara leluhur almarhum pemimpin Al Qaida Osama bin Laden dan hingga kini masih menghadapi kekerasan separatis di wilayah utara dan selatan.
Yaman Utara dan Yaman Selatan secara resmi bersatu membentuk Republik Yaman pada 1990 namun banyak pihak di wilayah selatan, yang menjadi tempat sebagian besar minyak Yaman, mengatakan bahwa orang utara menggunakan penyatuan itu untuk menguasai sumber-sumber alam dan mendiskriminasi mereka.
Negara-negara Barat, khususnya AS, semakin khawatir atas ancaman ekstrimisme di Yaman, termasuk kegiatan Al Qaida di Semenanjung Arab (AQAP).
AS ingin presiden baru Yaman, yang berkuasa setelah protes terhadap pendahulunya membuat militer negara itu terpecah menjadi kelompok-kelompok yang bertikai, menyatukan angkatan bersenjata dan menggunakan mereka untuk memerangi kelompok militan itu.
Militan melancarkan gelombang serangan sejak mantan Presiden Ali Abdullah Saleh pada Februari 2012 menyerahkan kekuasaan kepada wakilnya, Abdrabuh Mansur Hadi, yang telah berjanji menumpas Alqaidah..
sumber : Antara