REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Harun Husein/ Wartawan Senior Republika
Semua kudeta itu buruk, tidak manusiawi, dan merupakan musuh demokrasi.
Apa yang dikhawatirkan itu pun akhirnya terjadi. Militer —musuh paling berbahaya dalam setiap proses transisi menuju demokrasi— membajak demokrasi dan demokratisasi di Mesir. Tapi, mengapa Barat seperti gagap mendefinisikan apa yang terjadi di Mesir? Benarkah mereka turut andil dalam kudeta ini, seperti yang dulu mereka lakukan di Palestina dan Aljazair?
Militer Mesir yang dipimpin Jenderal Abdul Fattah al-Sisi, menggulingkan Muhammad Mursi, presiden yang dipilih rakyat lewat pemilu paling demokratis sepanjang sejarah Mesir, pada 3 Juli lalu. Militer lalu ‘menculik’ Mursi, membubarkan Majelis al-Shura atau majelis tinggi parlemen Mesir, dan buru-buru membentuk kabinet baru bersama kalangan oposisi liberal-sekuler-kiri .
Demokrasi di Mesir yang baru bersemi dan sedang menuju perbaikan pun langsung melempem. Demokrasi yang menghendaki konflik diselesaikan dengan cara-cara damai, sebagaimana kredo from bullet to ballot pun menguap. Situasinya menjadi terbalik. Konflik diselesaikan dengan senjata: from ballot to bullet.
Tak ada lagi dialog, tak ada lagi kebebasan menyatakan pendapat. Demonstrasi damai yang dilakukan rakyat Mesir pun dengan kasar coba dibungkam dengan bahasa Rambo. Para pendemo Ikhwanul Muslimin distigmatisasi sebagai pendukung teroris dan ditembaki dengan peluru tajam. Ratusan orang tewas, ribuan orang terluka, demokrasi tercabik-cabik. Apa yang terjadi di Mesir ini seperti sebuah dejavu. Dulu, pada 1950-an, ketika ge lombang kedua demokratisasi sedang melanda dunia, militer justru tampil meng halaunya. Semua bermula ketika Let kol Gamal Abdul Nasser dan perwira bebas menggulingkan Raja Faruk pada ta hun 1952. Jenderal Moh Naquib menjadi presiden pada tahun 1953, tapi kemudian kembali digulingkan oleh Nasser pada 1954. Selanjutnya, Nasser menjadi presiden.
Mulanya, dalam penggulingan Raja Faruk, Gamal Abdul Nasser dan Ikhwanul Muslimin bahu membahu. Namun, setelah meraih kekuasaan, dia menyingkirkan Ikhwanul Muslimin. Bahkan, para aktivisnya kemudian dikejar-kejar dan dipenjarakan, yang antara lain berpuncak pada penggantungan Mursyid Am Ikhwanul Muslimin, Sayyid Qutb pada tahun 1966.
Posisi Mesir sebagai negara Arab terbesar, dan memainkan peran kunci di kawasan, membuat virus kudeta itu merambat di kawasan. Efek domino kudeta itu melanda Irak, ketika militer menggu lingkan Monarki Hashimite pada Juli 1958; kemudian ke Suriah pada April 1963; ke Sudan pada 25 Mei 1969; dan Lib ya pada September 1969, ketika Letkol Muammar Khadafi menggulingkan Raja Idris.
Tapi, bukan hanya monarki yang digu lingkan oleh gelombang kudeta tersebut. Rezim demokratis pun ditumbangkan. Dan itulah yang terjadi di Aljazair, ketika pada Juli 1965, militer menggulingkan Ahmed Ben Bella, presiden pertama di negara itu yang dipilih lewat pemilu..
Alhasil, sampai dengan berakhirnya gelombang kedua demokratisasi pada awal 1970-an, kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara, bak luput dari terjangan. Yang terjadi justru arus sebaliknya, yaitu menuju otoritarianisme, karena kawasan tersebut dikangkangi oleh para diktator militer dan diktator partai tunggal. Para otokrat dan despot itu pun tetap kokoh di singgasananya ketika gelombang ketiga demokratisasi –sejak awal 1970-an hingga 1990-an melanda dunia.
Melihat kawasan ‘jantung Islam’ tersebut diselimuti kejahiliyahan rezim-rezim otoritarian, para pakar Barat pun kemudian berteori tentang democracy gap. Me reka menuding penyebab luputnya negara-negara Arab dari gelombang demokratisasi, antara lain, adalah karena Islam ti dak kompatibel dengan demokrasi. Di kalangan Islamis, demokrasi memang di anggap sistem kufur, sehingga dijauhi. Untuk me lawan para tiran dan despot di negerinya, mereka memilih menggunakan senjata.
Tapi, belakangan, terjadi perubahan pandangan, terutama di kalangan Ikhwanul Muslimin. Tokoh spiritual Ikhwanul Muslimin, Said Hawwa, mengajak untuk tak memerangi demokrasi, tapi justru mengambil manfaat darinya. Sebab, menerapkan demokrasi di negara Islam jus tru menguntungkan perjuangan umat Is lam, antara lain karena keunggulan demografi.
“Kita menyaksikan demokrasi di dunia Muslim pada akhirnya akan menghasilkan kemenangan bagi Islam… tuntutan supaya lebih demokratis, merupakan jalan praktis menuju kesuksesan Islam di atas wi layah Islam. Musuh-musuh kita menyadari betul kenyataan ini dan itu pula sebabnya mereka membunuh demokrasi (di negeri Muslim –Red), dan membangun kediktatoran dan alternatif-alternatif lain,” katanya (Republika, 7/3/2011).
Maka, gerakan Islam di sejumlah negara pun mengusung gagasan-gagasan demokrasi. Dan itulah yang terjadi di Turki, Tunisia, Aljazair, dan lain-lain. Tapi, ke tika demokrasi sudah mulai bersemi di Timur Tengah dan Afrika Utara, Barat justru tampil sebagai aktor antagonis, yang mendukung pemberangusan rezim-rezim demokratis. Itulah yang terjadi ketika Front Pembebasan Islam memenangkan pemilu Aljazair, dan Hamas memenangkan pemilu Palestina.
Kini, dunia sedang bertanya-tanya, apa kah cara serupa yang sedang terjadi di Mesir? Melihat sikap Barat —yang biasanya lantang menentang kudeta mi liter terhadap rezim-rezim demok ratis— yang terkesan bungkam terhadap apa yang terjadi di Mesir, kecurigaan itu pun semakin kuat. Se bab, tak satu pemimpin Barat pun yang menyebut penggulingan Mursi sebagai kudeta. Sikap inilah yang dikecam oleh Per dana Menteri Turki, Recep Tayyip Erdogan.
“Semua kudeta adalah buruk, tidak manusiawi, dan merupakan musuh de mokrasi. Saya terkejut dengan sikap Barat. Apa yang terjadi dengan nilai-nilai ideal demokrasi mereka? Mereka meng abaikan nilai-nilainya sendiri dengan tidak menyebut intervensi militer di Mesir sebagai kudeta. Ini adalah tes ketulusan dan Barat telah gagal,” kata Erdogan, seperti dikutip Todayszaman.
Bahkan, kendati militer menggu lingkan pemimpin demokratis di Mesir, pemerintah Amerika Serikat seperti memberikan restunya, dengan tetap melanjutkan pengiriman empat jet tempur F-16 ke Mesir. Pengiriman itu hampir saja terjadi, sampai Jenderal El Sisi, sang pemim pin kudeta, membuat seruan memalukan, dengan meminta massa antipresiden Mursi turun ke jalan. “Rakyat Mesir hendaknya turun ke jalan… untuk memberi saya mandat dan perintah untuk menindak tegas aksi kekerasan dan terorisme.”
Buntut seruan —yang dipandang Ikhwanul Muslimin sebagai provokasi untuk perang saudara— itu, semua lepas tangan. Amerika batal mengirimkan jet tempur nya, militer Mesir pun menyatakan itu seruan pribadi El Sisi, bukan mewakili institusi tentara. Dan, alih-alih pulang ke rumah akibat seruan jenderal yang sedang mabuk kekuasaan itu, seruan untuk ber demonstrasi justru semakin kuat, menuntut Mursi dikembalikan ke posisinya.