REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Presiden transisi Mesir Adly Mansour memberlakukan keadaan darurat di seantero negara tersebut selama satu bulan menyusul bentrokan berdarah di Kairo dan berbagai provinsi.
"Pemberlakuan keadaan darurat ini untuk memulihkan stabilitas keamanan," kata Istana Presiden dalam satu pernyataan, Rabu (14/8).
Bentrokan meluas di Ibu Kota Mesir, Kairo, dan berbagai kota sejak Rabu pagi menyusul tindakan tegas aparat keamanan untuk membubarkan secara paksa aksi duduk pendukung presiden terguling Muhammad Mursi di Bundaran Rabiah Adawiyah dan Bundara Al Nahdhah, Kairo.
Suasana di Bundaran Rabiah berantakan, tenda-tenda pengunjuk rasa banyak yang roboh dan terbakar. Bunyi tembakan bertubi-tubi masih terus terjadi.
Namun, hingga pukul 16.30 waktu setempat atau pukul 21.30 WIB, pasukan keamanan dari tentara dan polisi belum mencapai titik Bundaran Rabiah. Para pemuda berusaha menghadang pasukan keamanan dengan lemparan batu.
Pasukan keamanan gabungan dari tentara dan polisi yang didukung tank tempur, panser, dan buldoser militer praktis telah mengepung Bundaran Rabiah dari berbagai arah jalan. Sementara itu, jumlah korban tewas dan luka-luka masih simpang siur.
Satuan Ambulans Kementerian Kesehatan menyebut jumlah korban tewas di Kairo sekitar 45 orang. Namun, sumber medis lapangan menyebutkan lebih dari 200 orang tewas dan ratusan lagi cedera.
Kantor berita resmi Mesir, MENA, melaporkan, selain di Bundaran Rabiah dan Bundaran Al Nahdhah, bentrokan hebat juga terjadi di berbagai sudut kota Kairo, seperti di Bundaran Masjid Mostafa Mahmoud di Giza, Kairo Barat, Jembatan 6 Oktober, Ramses di pusat kota Kairo dan dekat Istana Presiden Ettihadiyah.
Sebelumnya, pemerintah telah berulang kali memperingatkan pendukung Mursi untuk membubarkan diri. Pada hari Rabu lalu, Presiden Mansour dan Perdana Menteri Hazem Al Beblawi mengeluarkan pernyataan bersama untuk membubarkan aksi duduk guna memulihkan stabilitas keamanan.