Sabtu 17 Aug 2013 00:30 WIB

Mahkamah Konstitusi Penyebab Krisis Mesir

Rep: Harun Husein/ Red: M Irwan Ariefyanto
 Pengunjuk rasa memegang foto Presiden Muhammad Mursi di Nasser City, Kairo, Mesir, Kamis (4/7).    (AP/Hassan Ammar)
Pengunjuk rasa memegang foto Presiden Muhammad Mursi di Nasser City, Kairo, Mesir, Kamis (4/7). (AP/Hassan Ammar)

REPUBLIKA.CO.ID,Majelis rendah parlemen Mesir atau Majlis al-Shaab, dipilih oleh rakyat Mesir pada akhir tahun 2011. Majelis yang merupakan padanan DPR, ini, berhasil didominasi oleh Ikhwanul Muslimin lewat sayap politiknya, Partai Keadilan dan Kebebasan. Tapi, pada 14 Juli 2012, Mahkamah Konstitusi dan Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata (SCAF), membubarkan majelis tersebut dengan alasan yang dicari-cari.

Setelah membubarkan parlemen, kekuasaan legislatif kemudian dipegang oleh para jenderal di SCAF, yang saat itu masih dipimpin Marsekal Husein Tantawi. Pengambilalihan kekuasaan legislatif hasil pemilu secara sepihak, membuat panas situasi Mesir kala itu. Namun, Ikhwanul Muslimin memilih menahan diri, antara lain, karena pemilihan presiden putaran kedua segera digelar, dimana yang bertarung adalah Muhammad Mursi melawan Ahmad Shafik.

Muhammad Mursi saat itu adalah ketua umum Partai Keadilan dan Kebebasan, sedangkan Ahmad Shafik adalah bekas perdana menteri di era Mubarak. Ahmad Shafik adalah perwira tinggi militer Mesir.

Kolumnis asal Inggris, Jonathan Stelle menyatakan, Ikhwanul Muslimin dan pendukungnya secara sosial termasuk kalangan konservatif, yang dikhawatirkan bakal menciptakan ancaman bagi hak hak sipil sebagian orang Mesir. Tapi, dia menegaskan kekhawatiran itu tidaklah seberapa dibanding ancaman lain yang lebih mengkhawatirkan. “Bahaya terbesar dan mendesak adalah ancaman terhadap hak-hak politik yang telah dimenangkan oleh rakyat Mesir pascapenggulingan Husni Mubarak,” katanya.

Jonathan menyebut ancaman terhadap demokrasi itu datang dari apa yang disebutnya sebagai ‘deep state’. Mereka adalah birokrasi peninggalan Mubarak dan Partai Nasional Demokrat di masa lalu, yang tetap bercokol; elite pengusaha yang merupakan kroni-kroni Mubarak; dan, hirarki militer yang mengeksploitasi aset negara. “Apa yang ironis dari peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam beberapa hari terakhir adalah mereka yang memaki presiden di Tahrir Square dan jalan-jalan di berbagai kota, telah jatuh dalam perangkap.”

Setelah militer menggulingkan Mursi, tokoh-tokoh oposisi pun kemudian tampil panggung kekuasaan. Muhammad Elba radei, menjadi wakil presiden untuk urusan luar negeri. Kabinet itu pun didominasi oleh kalangan liberal-sekuler, kiri, dan Kristen Koptik, minus Islamis. Ikhwanul Muslimin memang ditawari untuk masuk kabinet, namun mereka menolaknya, dan menegaskan Presiden Mursi —yang sedang diculik— masihlah merupakan pemimpin Mesir yang sah.

Sejumlah kalangan menilai, kabinet yang dipimpin kalangan liberal itu tak lebih baik. Bila sebelumnya mereka menuding kabinet Mursi diisi orang-orang yang tak kapabel, karena lebih mementingkan latar belakang Islam, kabinet baru yang dipimpin Perdana Menteri Hazem El Beblawi juga tak lantas menjadi kabinet yang inklusif. Bahkan, alih-alih tokoh yang kapabel, sejumlah orang dalam kabinet itu bahkan tak dikenal oleh media, ketika sejumlah media di Mesir salah memasang foto para menteri kabinet Beblawi.

Dan, tak butuh waktu lama, kabinet baru yang sumber legitimasinya berasal dari moncong senapan, itu, segera memperlihatkan watak aslinya yang antidemokrasi. Yaitu, ketika mereka menjawab demonstrasi damai pendukung Mursi dengan tembakan peluru tajam, mengancam dan menistakan lawan politiknya sebagai teroris, serta mengerahkan massa dan preman. Ratusan orang tewas, ribuan orang terluka, dunia pun tersentak. Elbaradei kebakaran jenggot dengan insiden penembakan tersebut.

Maka, tepatlah apa yang dikatakan oleh Jonathan Steele: “Mereka yang memercayai militer akan menciptakan kebebasan, akan segera kecewa. Sejak [kudeta] di Chile pada 1973 hingga Pakistan pada 1999, sejarah panjang militer mengambil alih kekuasaan disambut meriah pada awalnya. Tapi, beberapa tahun kemudian diikuti penyesalan dan keputusasaan. Untuk Mesir yang mengikuti nya, tradisi itu adalah bencana.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement