REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Seorang staf lembaga pemantau Timur Tengah berpusat di London, Inggris, menyatakan bahwa wartawan yang sedang meliput kejadian di lokasi aksi demonstrasi pro-Muhammad Mursi menjadi target serangan pihak keamanan militer Mesir.
Sejak pembubaran paksa aparat keamanan Mesir pada Rabu (14/8), setidaknya lebih dari 2700 warga meninggal dan ribuan lainnya luka-luka. Sementara, korban tewas terus meningkat. Termasuk yang menjadi korban adalah para wartawan.
“Dalam rangka untuk mengungkapkan apa yang sedang terjadi, wartawan dipaksa mempertaruhkan nyawa mereka,” kata Shazia Arshad, staf Middle East Monitor (MEMO) urusan Pejabat Parlemen, dalam sebuah artikel yang ditulisnya di laman resmi MEMO yang dikutip Mi’raj News Agency, Sabtu (17/8).
Tragedi pembantaian Rabu lalu telah menyebabkan keprihatinan yang lebih besar bagi lembaga media dengan adanya korban dari wartawan. Setidaknya empat wartawan dilaporkan tewas.
Keempat wartawan yang dilaporkan tewas yaitu Mike Dean (juru kamera Sky News Inggris), Habeeba Abdelaziz (wartawan surat kabar XPRESS Dubai), Ahmed Abdel Gawad (jurnalis Al-Akhbar Mesir) dan Mosab El-Shami Rassd (wartawan RNN).
Sebelumnya, pada awal kudeta militer mesir, salah satu juru kamera dari surat kabar sayap politik Ikhwanul Muslimin 'Al-Horia Wa Al-Adala', Ahmed Samir Assem (26), merekam detik-detik kematiannya sendiri dengan mengarahkan kamera pada penembak jitu yang menembaknya di lingkungan markas besar pasukan elit Mesir, Garda Republik, Kairo, Senin (8/7).
Selain korban meninggal, sejumlah wartawan mengalami luka-luka, pelecehan, dan penahanan.
Asmaa Waguih, wartawan Reuters, menderita luka serius setelah dia ditembak di kaki saat penyerangan militer Mesir. Sementara seorang fotografer Associated Press ditembak di bagian belakang leher. Mohammed Zaki, juru kamera Al-Jazeera, juga tertembak di lengan.
Tarek Abbas dari surat kabar Al-Watan ditembak di kaki dan mata. Fotografer Ahmed Najjar terluka di lengan.
Selain luka yang dialami wartawan, sejumlah lembaga media juga menjadi target serangan militer Mesir. TV Al-Jazeera dan TV Al-Quds (stasiun TV Palestina berbasis di Beirut) melaporkan bahwa sinyal mereka macet pada titik-titik tertentu selama liputan mereka pada Rabu lalu.
Al-Jazeera berulang kali terpaksa harus beralih satelit dalam beberapa pekan terakhir untuk memastikan layanan berkelanjutan pantauan situasi di Mesir.
Salah seorang wartawan, Abdullah Al-Shamy, ditahan hingga kini. Mike Giglio, seorang reporter untuk Daily Beast, melaporkan bahwa ia juga telah ditangkap dan dipukuli oleh pasukan keamanan Mesir.
"Ditangkap, dipukuli oleh pasukan keamanan di Rabaa dan kemudian ditahan," tulis Al-Shamy, dalam akun twitternya, Rabu (14/8).
Patrick Kingsley dari The Guardian Inggris juga melaporkan telah ditahan oleh pasukan keamanan. Seorang wartawan Washington Post diancam dengan mengatakan bahwa akan ditembak kakinya.
Wartawan Inggris Tom Finn berbicara langsung kepada Huffington Post sesaat setelah dibebaskan dari penangkapannya. Dia mengungkapkan bahwa kameranya dirampas dan foto-foto hasil jepretannya dihapus.
Finn mengklaim bahwa situasi dibuat sulit bagi wartawan untuk mendapatkan akses ke lokasi para demonstran pro-Mursi. Meskipun telah mengenakan kartu pers mereka, tapi militer mencegah wartawan mendokumentasikan kekejaman yang terjadi.