Ahad 18 Aug 2013 22:44 WIB

Mesir Tak Aman, Mahasiswa Tak Diundang Upacara 17 Agustus di KBRI

Rep: Cr-01/ Hannan Putra/ Red: Heri Ruslan
Pasukan militer Mesir melemparkan gas air mata ke arah pendukung Presiden Mursi di Kairo, Rabu (14/8).
Foto: AP
Pasukan militer Mesir melemparkan gas air mata ke arah pendukung Presiden Mursi di Kairo, Rabu (14/8).

REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Pergolakan kondisi Mesir yang terus memanas membuat Kedutaan Besar RI di Kairo mengkhususkan penyelenggaraan upacara bendera peringatan 17 Agustus hanya untuk kalangan terbatas saja.

Setiap tahun, KBRI Kairo yang berada di Garden City biasanya selalu mengundang WNI untuk mengikuti upacara dan terbuka untuk umum. Namun tahun ini, upacara hanya diikuti oleh staf KBRI, perwakilan dari PPMI (Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia), serta perwakilan tenaga pengajar di Sekolah Indonesia Cairo (SIC).

Upacara tidak lagi dibuka untuk umum seperti tahun-tahun sebelumnya.

Atase Kemendikbud KBRI Kairo, Fahmy Lukman mengatakan, kendati yang menghadiri upacara tidak seramai tahun sebelumnya, namun upacara berlangsung khidmat dan aman hingga akhir.

"(Upacara 17 Agustus) Alhamdulillah terselenggara dgn baik dan khidmat. Dihadari semua pegawai KBRI dan beberapa utusan kawan-kawan mahasiwa, anak-anak Sekolah Indonesia Cairo (SIC), dan para guru," jelas Fahmi kepada Republika, Ahad (18/8) via Blackberry Messanger.

WNI yang ada di Mesir saat ini dihimbau untuk tidak keluar rumah. Mereka sebaiknya tidak mengikuti kegiatan-kegiatan kemahasiswaan di kampus Al Azhar seperti talaqqi atau di kegiatan khusus mahasiswa Indonesia di Wisma Nusantara. Segala kegiatan di luar rumah untuk sementara dihentikan, termasuk menghadiri acara peringatan 17 Agustus di KBRI yang letaknya dekat dengan Tahrir Square, pusat demonstrasi.

"Biasanya tahun lalu ada jemputan yang disediakan KBRI untuk kita. Mahasiswa diundang ke KBRI untuk upacara dan ada open house juga. Tapi tahun ini tidak ada," jelas salah seorang mahasiswa Indonesia, Faisal yang tinggal di Gami' Nasr City.

"Kalau mau ke KBRI saat ini cukup bahaya. Karena memang harus lewat di Maidan Tahrir. Demikian juga Wisma Nusantara yang letaknya di Rabiah al 'Adawiyah yang jadi pusat bentrokan massa Mesir dengan Militer," jelas ketua Kesepakatan Mahasiswa Minangkabau (KMM) Muhammad Syukron kepada Republika, Ahad (18/8).

Mahasiswa lainnya, Roni Irawan mengatakan, ia dan rekan-rekannya mendapat kabar untuk tahun ini KBRI tidak lagi mengundang mereka untuk ikut upacara 17 Agustus. "KBRI mengumumkan nggak ada upacara seperti tahun-tahun sebelumnya. Melihat kondisi Mesir yang tidak aman," jelas Roni via BBM kepada Republika. Pria asal Lintau Sumatra Barat itu mengaku lebih banyak dirumah dan mengurangi aktivitasnya diluar.

"Teman-teman baca muqorror (diktat kuliah) di rumah. Yang jelas kita sibukkan diri untuk belajar di rumah," sambungnya.

Roni sendiri sebenarnya mempunyai pekerjaan sampingan. Disela-sela kesibukannya sebagai pelajar, ia bekerja sebagai penjaga toko di salah satu pusat perbelanjaan di Tahrir. Ia dipercayakan salah seorang warga Mesir untuk menjaga toko. Namun, sejak tergulingnya presiden Mesir Muhammad Mursi, ia tak lagi berangkat kerja. "Semuanya pada takut keluar rumah. Apalagi ada kabar tentara dan polisi Mesir sering merazia Wafidin (warga negara asing)," jelasnya.

Soal aksi pengunjuk rasa, Roni mengaku tidak banyak mendapat informasi. WNI yang umumnya hanya berada di rumah tidak terlalu mengikuti perkembangan situasi Mesir. WNI di Mesir hanya dapat menonton siaran televisi Mesir yang notabene dikuasai Militer yang saat ini berkuasa. Roni menilai, pemberitaan tidak adil dan tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya. "Seperti demo di Rabiah al 'Adawiyah itu puluhan ribu orang, pemberitaan hanya ratusan orang," jelasnya.

Jadi untuk mengikuti perkembangan situasi di tempatnya, Roni dan rekan-rekannya lebih mempercayai situs berita dari luar Mesir, seperti Aljazeera.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement