REPUBLIKA.CO.ID, SAMARINDA -- Pengamat Politik Timur Tengah dari Universitas Indonesia Dr Yon Machmudi mengaku heran ada negara maupun kelompok yang mendukung langkah-langkah yang dilakukan oleh penguasa militer Mesir saat ini.
Ia menilai, dukungan Arab Saudi, misalnya, lebih pada upaya untuk mempertahankan monopoli politik di Timur Tengah yang selama ini cenderung dikuasai oleh keluarga istana dan militer.
Dalam kurun waktu yang sangat panjang, ujarnya, "raja" dan militer adalah pilar utama monarkhi absolut di Timur Tengah. Kompromi politik dan "power sharing" tidak dikenal dalam terminologi politik Timur Tengah.
Mesir, menurut Yon, akan menjadi monumen bagi kawasan Timur Tengah ke depan, apakah akan menjadikan wilayah yang demokratis atau mempertahankan sistem lama yang cenderung otoriter.
"Saya melihat dukungan Arab Saudi kepada militer Mesir sangat berisiko. Negara-negara Barat akan menghentikan bantuan ke Mesir, tetapi sebaliknya Saudi malah menjanjikan bantuan," katanya.
Jika militer di Mesir gagal, maka diperkirakan Saudi akan mengalami "tsunami politik" yang dapat menghancurkan dinasti Saudi dan para pendukung dinasti lainnya di kawasan Teluk itu.
Dinamika di Mesir, katanya, telah menunjukkan kecenderungan "zero sum game" yang masing-masing tetap bertahan dengan kepentingannya.
Menurut dia, kelompok Islam radikal dan pendukung rezim lama bersama militer sangat berkepentingan untuk mengambil alih kekuasaan, sementara Ikhwanul Muslimin yang melakukan aksi damai dijadikan sebagai korban.