REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Afriza Hanifa
Aroma anyir darah menyengat di beragam penjuru ibu kota Kairo. Masjid-masjid menjadi tempat penampungan mayat yang bergelimpangan dan berlumuran darah. Salah satu masjid, Masjid Al Iman bahkan telah berubah fungsi menjadi kamar mayat yang menampung ratusan jenazah.
Jumlah korban tewas menurut catatan pihak Ikhwanul Muslimin (IM), mencapai lebih dari 2.000 jiwa. Adapun menurut Juru bicara Kementerian Kesehatan Khaled el-Khateeb, korban tewas sekitar 525 orang dn korban luka mencapai 3.717 orang.
Meski korban telah banyak berjatuhan, bentrok terus saja terjadi terutama di kawasan Rabiah dan Al Nahshah square tempat berkumpulnya simpatisan IM. Mereka menolak kudeta dan meminta dikembalikannya jabatan Mursi sebagai presiden Mesir.
Militer pun tak segan mengadang mereka dengan dukungan tank, panser hingga penembak jitu. Suasana Kairo begitu suram, suara peluru terus berdesing, korban tewas terus bertambah. Negeri Kinanah benar-benar kacau balau.
Pihak IM menuding militer telah melakukan pembantaian terhadap pendukung Mursi di Kamp Adawiyah dan Nahda Square. Sementara militer menganggap aksi mereka sebagi penjaga stabilitas keamanan negara. Lembaga pemantau hak asasi manusia internasional, Human Right Watch (HRW) melaporkan bahwa pembantaian di dua tempat tersebut merupakan pembunuhan terburuk dalam sejarah modern suatu negara.
Pasukan keamanan Mesir, disebut HRW, telah menggunakan kekuatan mematikan untuk mengusir aksi duduk pada 14 Agustus 2013. "Penggunaan kekuatan mematikan yang tak dibenarkan ini merupakan kemungkinan terburuk penyebab situasi di Mesir sekarang ini," ujar Direktur HRW untuk wilayah Timur Tengah, Joe Stork.
Tak hanya itu, menurut kantor berita resmi Mesir, MENA, bentrok juga terjadi di Bundaran Masjid Mostafa Mahmoud di Giza, Kairo Barat, Jembatan 6 Oktober, Ramses di pusat kota Kairo dan dekat Istana Presiden Ettihadiyah. Pemerintah baru Mesir dibawah Presiden Adly Mansour dan Perdana Menteri Hazem Al Beblawi pun telah meminta pendukung Mursi untuk membubarkan diri. Namun para pendukung IM bertekad tak akan pulang ke rumah-rumah mereka hingga jabatan presiden kembali pada Mursi.
Karena situasi yang tak kondusif, diberlakukan jam malam. Presiden transisi Mesir Adly Mansour bahkan memberlakukan keadaan darurat di seantero Mesir selama sebulan. Masyarakat sipil tak dapat beraktivitas normal. Perekonomian makin terpuruk. Harga kebutuhan pangan melonjak. Mereka terkepung diantara perang saudara di negeri sendiri.
Melihat aksi kekerasan di Mesir yang tak berujung, Analis dari International Crisis Group, Yasser al-Shimy, menyatakan kekhawatiran terhadap masa depan Mesir. Ia pesimis kekerasan akan mudah diakhiri dan protes dapat diredam. Pengamat Timur Tengah Universitas Indonesia, Yon Machmudi menuturkan, kudeta Mursi menjadi tanda kembalinya Mesir ke fase kemunduran. Pupus sudah harapan rakyat Mesir dari hasil Arab Spring dengan berakhirnya era Mubarak.
Yon mengatakan, harapan rakyat pada Mursi pun tumbang begitu saja. Ia pun mengkhawatirkan Mesir akan kembali pada era kediktatoran Mubarak sebelum Arab Spring mencuat. "Yang kita khawatirkan, Mesir akan kembali ke era-era sebelumnya di mana pergerakan IM akan dilarang. Saat ini, dengan ditangkapnya pemimpin-pemimpin IM tentu akan membawa Mesir pada kemunduran seperti di zaman Mubarak," ujarnya kepada Republika Online.
Menurut Pengamat politik Timur Tengah dari IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, Fuad Mardhatillah, masyarakat sipil Mesir belum siap dan belum mampu menerapkan demokrasi dengan cerdas. Akibatnya, militer mendapat celah untuk mengintervensi proses demokrasi Mesir. "Masalahnya, masyarakat sipil selalu ada perdebatan dan melihat militer mampu mengambil kesimpulan dari sebuah keadaan. Saya berharap intervensi militer tidak untuk mengembalikan kekuasaan militer, tapi untuk menjembatani ketidakpastian yang berlarut-larut di negara itu sehingga militer berperan seperti penengah dalam konteks demokrasi," ujarnya dikutip dari Antara.
Masalah Baru
Konflik antara pro-Mursi dan anti-Mursi (yakni oposisi dan militer) belum usai, namun masalah baru muncul kembali. Sang presiden yang digulingkan pertama kali, Husni Mubarak telah bebas dari jeruji besi. Ia dibebaskan dari dakwaan korupsi dan berhasil banding dari hukuman seumur hidup.
Sementara itu, pemimpin oposisi, Muhammad ElBaradei memilih mundur dari pemerintahan. Ia meninggalkan Mesir dan tinggal di Austria. "Saya khawatir konsekuensinya, saya tidak bisa menanggung tanggung jawab untuk setetes darah di hadapan Allah," ujar Baradei dikutip dari Al Jazirah.
Terlepas dari hukuman yang mengancam El Baradei, rakyat Mesir dipihak oposisi tak memiliki sosok usungan mereka. Padahal sosok kuat ditengah masyarakat Mesir sejak Arab Spring hanya Mursi dan Baradei. Panglima Militer Jenderal Abdul Fatah al-Sisi pun baru mencuat namanya saat Mursi menjabat. Sementara Presiden baru, Adly Mansur belum terlihat taringnya.
Akibat munculnya masalah baru yang beragam, Pengamat Politik Mesir, Ibrahim Rantau menuturkan bahwa peta konflik Mesir telah berubah. Bebasnya Mubarak dari tahanan dapat mengubah perseteruan dari sebelumnya konflik antara pihak nasionalis liberalis dengan Islam, menjadi konflik antara rezim militer yang dahulu dibawah Mubarak dengan kubu pro-revolusi.
"Ada dua skenario yang mungkin terjadi terkait pembebasan Mubarak. Pertama, akan memancing kembali munculnya gerakan revolusi seperti pada tahun 2011 yang menuntut penggulingan Mubarak sebagai presiden. Skenario kedua adalah bisa jadi tidak ada gerakan apa pun sama sekali. Karena, masyarakat mungkin sudah lelah dengan berbagai hal yang terjadi di Mesir. Masyarakat mulai pesimistis meskipun mereka ingin kebebasan dari rezim," ujar Ibrahim dikutip dari MirajNews.
Jika semua pihak di Mesir tak bersatu, konflik Mesir tak akan pernah berakhir. Indonesia sebagai negara muslim terbesar pun tak banyak memberi peran untuk menyelesaikan perseteruan. Sebagai muslimin, kita hanya dapat berdoa agar negeri dakwah para nabi itu kembali damai dan tak ada lagi darah muslimin yang tertumpah.