REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN -- Buronan Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat (NSA) Edward Snowden kembali membeberkan keculasan Paman Sam.
Lewat dokumen intelijen, bekas analisis mata-mata di Badan Intelijen AS (CIA) itu mengungkapkan, NSA telah menyadap semua komunikasi markas Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di New York, AS.
Snowden merilis ungkapannya lewat surat kabar terkenal di Jerman, Der Spiegel saat Ahad (25/8). Dalam dokumen, dikatakan, bagaimana AS dengan instrumen intelijennya menyadap badan resmi di organisasi terbesar di dunia itu. ''NSA berhasil masuk ke sistem video konfrensi di markas PBB dengan menghancurkan kode keamanan (di PBB),'' demikian dokumen Snowden seperti dilansir AP dan Reuters, Senin (26/8).
Snowden mengatakan, PBB adalah target operasi utama selain komunitas internasional terbesar lainnya, seperti Uni Eropa. Dokumen juga merangkum kegiatan spionase di Badan Atom Internasional PBB (IAIE) dan pengawas senjata nuklir yang bermarkas di Wina, Austria. Rangkuman intelijen tersebut diungkapkan, musim panas 2012, menjadi awal kegiatan spionase tersebut.
Kegiatan tersebut dilakukan NSA sebagai program kontraintelijen Washington. Sekira 80 kedutaan dan konsultan di seluruh dunia mengalami apa yang diistilahkan NSA sebagai Cracking Down Code.
Snowden menjadi sorotan serius bagi CIA. Laki-laki 30 tahun itu membelalakkan internasional dengan mengungkapkan semua kecurangan Paman Sam memata-matai semua lini komunikasi internasional. Snowden kini berada dalam perlindungan Federasi Rusia sejak pelariannya Mei - Juni lalu.
Ungkapan Snowden di the Guardian dan Washington Post beberapa bulan lalu, juga mengancam kedua media ternama tersebut. Di London, Inggris, wartawan media sayap kanan itu dipaksa membumihanguskan dokumen baru Snowden yang didapatkan seorang wartawan dari Brazil. Inggris mengalami tekanan lantaran melindungi surat kabar ternama itu. Dokumen-dokumen tersebut dikatakan akan membawa petaka diplomasi dengan Gedung Putih.
Di Washington, persoalan Snowden ini pun menjadi perhatian khusus Presiden Barack Obama. Awal Agustus, presiden dua kali ini menginginkan hubungan tanpa curiga terhadap negaranya. Obama berjanji untuk menggambarkan program intelijen AS yang lebih transparan