REPUBLIKA.CO.ID, Eksistensi organisasi terbesar pendukung presiden Muhammad Mursi, Ikhwanul Muslimin, sedang berada di persimpangan. Kuatnya cengkeraman militer terhadap rezim Mursi yang didukung oleh rakyat Mesir membuat Ikhwan harus berjuang meniti masa depan.
Seorang mantan anggota Ikhwan, Al Qassas, kepada Aljazeera mengatakan, tantangan utama yang dihadapi Ikhwanul Muslimin, sebenarnya bukan tindakan keras negara. Saat ini, Ikhwan harus menghadapi penolakan sosial dari rakyat Mesir.
Ia berspekulasi bahwa selama 80 tahun, negara mencengkeram ketat atas keberadaan politik Ikhwan. Sehingga membuat Ikhwan kehilangan dukungan dari rakyat Mesir.
"Sekarang setelah satu tahun pemerintahan yang buruk, setelah mereka mencapai kekuasaan pada momentum revolusioner seperti ini, Ikhwan kehilangan dukungan sosial yang besar rakyat Mesir untuk pertamakalinya dalam sejarah panjang. Ini akan membuat situasi mereka lebih sulit," jelasnya.
Abdullah al-Keriouny, tokoh Ikhwan dan pemimpin dalam Sindikat Dokter di Mesir, sepakat dengan penilaian Qassas. Selama ini, Ikhwan telah menikmati eksistensinya dalam organisasi profesional. Sedangkan anggotanya di badan mahasiswa terpilih untuk posisi senior.
Badan-badan ini dianggap basis kekuasaan penting dan sumber utama perekrutan anggota bagi organisasi."Aktivitas organisasi selalu menjadi ukuran seberapa bebas suatu negara, dengan keamanan yang ketat, aku ragu bahwa kami akan memiliki kesempatan untuk eksis di organisasi," kata Keriouny kepada Aljazeera.
Aliansi anti-kudeta yang dibentuk oleh Ikhwan dan partai Islam lainnya, meminta rakyat Mesir untuk meluncurkan gerakan pembangkangan sipil nasional. Akan tetapi, Keriouny percaya situasinya tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Menurutnya, partisipasi dalam pemogokan dan pembangkangan sipil biasanya terhubung ke kepentingan pribadi orang, bukan tekanan dari organisasi. Dia pun mengacu pada berbagai undangan untuk pembangkangan sipil yang diabaikan oleh masyarakat.
Sementara itu, Abdel Rahman al-Bakry, pemimpin aktif dalam gerakan mahasiswa Ikhwan, tampaknya tetap waspada dalam menghadapi kesulitan yang mungkin ditemuinya.
Aljazeera menulis, pada tahun 2011 dan 2012, Ikhwan memenangkan serangkaian pemilihan serikat mahasiswa yang memungkinkannya menyusun peraturan mahasiswa baru dengan sepihak.
Kemudian, organisasi tersebut melewati suatu keputusan administratif di bawah pemerintahan Mursi tanpa referendum di kalangan mahasiswa. Akibatnya, pada tahun 2013, Ikhwan kehilangan sebagian besar kekuatannya, sedangkan mahasiswa sekuler bersatu untuk memenangkan pemilihan.
Pelajar sekuler itu pun memenangkan suara mayoritas untuk menyerukan penyusunan peraturan baru. Menteri Pendidikan Tinggi Hossam Eissa, juga dikenal sebagai pengkritik keras Ikhwan, berjanji kepada para pemimpin serikat mahasiswa sekuler bahwa ia akan membatalkan peraturan versi Ikhwan yang disusun dengan keputusan administratif lainnya.
Dalam konflik antara Ikhwan dan lawan sekuler mereka selama pemerintahan satu tahun Pemerintahan Mursi, Bakry mengatakan, "Anggaran rumah tangga disusun oleh tubuh mahasiswa terpilih, kami tidak akan membiarkan siapa pun untuk mengambil alih kehendak mahasiswa. "
"Tentu saja ada kemarahan terhadap ikhwan dalam komunitas mahasiswa, tapi kami akan melakukan yang terbaik untuk membawa kembali dukungan kami menikmati di masa lalu," lanjutnya.