REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Alqaidah -- sebuah kelompok garis keras -- menyarankan agar Ikhwanul Muslimin memerangimiliter Mesir dengan jalan kekerasan.
Menurut Alqaidah, perlawanan dengan jalan damai seperti demonstrasi itu adalah cara yang sia-sia.
Alqaidah menegaskan pasukan militer mesir yang bersenjata lengkap menurut mereka hanya bisa dilawan dengan senjata pula.
Kelompok ini menilai tindakan kekerasan yang dilakukan militer Mesir, yang banyak memakan korban tersebut adalah perbuatan yang sangat tidak manusiawi. Untuk itu, pihaknya menyarankan untuk menempuh jalan keras, karena jalan damai yang selama ini dilakukan belum menunjukkan hasil.
Juru bicara Islamic State di Irak dan Levant (ISIL), Abu Mohammed Al Adnani, mengatakan tak ada cara lain yang lebih tepat untuk melawan tentara Mesir.
“Bagi mereka yang mengingkari Islam, kita harus terpanggil untuk melawannya,” katanya.
Menurutnya, militer Mesir adalah bagian dari pihak yang berusaha untuk mematikan untuk hukum-hukum Allah dari yang diadopsi dan mencegahnya untuk dijadikan prinsip dasar sebuah negara.
“Militer Mesir berusaha keras untuk menyucikan prinsip-prinsip sekularisme dan hukum buatan manusia," ujarnya seperti dikuti Reuters.
Adnani mengecam Ikhwanul Muslimin dan gerakan muslim lainnya yang lebih kecil, misalnya Salafis Partai al-Nour. Menurutnya, mereka telah dikooptasi untuk melakukan hanya aksi non-kekerasan dan pendekatan yang dilakukan mereka pun sia-sia untuk kekuasaan, misalnya melalui pemilu dan demokrasi. Ujung-ujungnya, anggota Ikhwanul Muslimin justru dipenjara, tewas, dan banyak yang menjadi buronan.
Puluhan pasukan keamanan Mesir telah tewas dalam serangkaian serangan yang diduga dilakukan oleh militan Islam, terutama di Semenanjung Sinai Mesir, sejak Presiden Mohamed Mursi digulingkan bulan lalu.
Kelompok Ikhwanul Muslimin telah berkomitmen untuk meninggalkan kekerasan sejak beberapa dekade yang lalu. Ikhwanul Muslimin pun menyangkal memiliki hubungan dengan militan, termasuk mereka di Sinai, meski kelompok militan ini memperoleh kekuatan lebih besar sejak Presiden Hosni Mubarak dipaksa mundur pada tahun 2011.