REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Satu rangkaian bom mobil yang terkoordinasi mengoyak sejumlah kawasan permukiman Syiah di Baghdad pada Selasa (3/9) dan menewaskan setidaknya 50 orang. Serangan berdarah tersebut menambah kekhawatiran beberapa kalangan bahwa Irak saat ini berada di ambang perang sektarian yang membunuh ribuan orang pada 2006-2007 lalu.
Peristiwa tersebut juga terjadi di tengah kebuntuan politik dan kekhawatiran meluasnya perang saudara di Suriah. Sebanyak 11 bom mobil meledak di perkampungan yang sebagian besar penghuninya adalah penganut Islam Syiah di Baghdad. Selain menewaskan 50 orang, pihak keamanan dan kesehatan mengatakan bahwa lebih dari 100 orang terluka.
Bom tersebut meledak pada pukul 18.00 waktu setempat (atau 22.00 WIB) dan mengenai beberapa bangunan warga sipil, di antaranya adalah toko es krim di pusat perbelanjaan distrik Karrada dan pasar tradisional di sebelah utara pemukiman Maamal. Bom yang lain meledak di masjid milik kelompok Syiah di bagian timur Baghdad.
Di masa lalu, serangan bom terkoordinasi biasanya dilakukan pada waktu sibuk pagi hari, saat jalan-jalan utama di ibu kota mengalami kemacetan. Sampai saat ini belum ada kelompok yang mengaku bertanggung jawab, namun kelompok militan yang dekat dengan Alqaidah pada masa lalu sering melakukan serangan terkoordinasi.
Sebelumnya pada pagi hari, sembilan orang lainnya terbunuh dalam serangan serupa, kata pejabat yang tidak disebut namanya oleh kantor berita Prancis AFP. Pada pagi hari tersebut, beberapa pria bersenjata memasuki sebuah rumah milik kelompok militan Sunni Arab di bagian selatan Baghdan dan membunuh tuan rumah, istri, serta dua anaknya.
Peristiwa tersebut terjadi sehari setelah dua serangan ditujukan ke milisi Sunni yang menewaskan 12 orang. Sebuah rumah milik kepala nasional milisi terkena ledakan tersebut. Kelompok milisi yang dikenal dengan Sahwa yang menjadi korban itu merupakan mantan bagian dari Alqaidah, namun pada 2006 lalu berbalik arah mendukung militer Amerika Serikat.