REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Meski penuh dengan kecaman, aturan yang melarang kaum homoseksual dan biseksual di Amerika Serikat untuk melakukan donor darah tetap tak berubah. Larangan yang berawal dari merebaknya AIDS 30 tahun lalu ini membuat frustasi aktivis gerakan hak-hak kaum gay.
Tak hanya kaum gay, bahkan kalangan di dunia medis meminta aturan ini dicabut.
Anggota Asosiasi Medis Amerika Serikat (AMA), William Kobler, Juni lalu, menyebut aturan ini diskriminatif dan tak berdasarkan ilmu pengetahuan.
Selain itu, Agustus kemarin, 80 anggota kongres mengirim surat kepada Departemen Kesehatan dan Bantuan Masyarakat (Department of Health and Human Services). Mereka mengkritik aturan yang sudah usang dan tak tepat karena memberi stigma negatif kepada kaum gay.
Di beberapa kampus, mahasiswa melakukan boikot donor darah hingga larangan itu dicabut.
Di tengah tekanan, Badan Pengawas Makanan dan Obat-Obatan Amerika (FDA), badan yang bertanggung jawab menangani suplai darah sama sekali tak terpengaruh.
Aturan, menurut FDA bisa saja dicabut. Akan tetapi jika didukung oleh data ilmiah menunjukkan bahwa perubahan kebijakan tidak akan menimbulkan risiko yang signifikan khususnya kepada penerima darah.
Saat ini Departemen Kesehatan sedang meneliti untuk bisa menilai kembali aturan itu. Jubir departemen, Diane Gianelli mengatakan, penelitian ini menunjukkan komitmen dari pihak dia. Terutama kepada bagaimana meningkatkan keamanan dan ketersediaan suplai darah nasional.
Namun beberapa aktivis gay tampak tak sabar. Mereka meminta Amerika Serikat mengikuti kebijakan seperti di Italia dan Spanyol. Disana aturan larangan donor darah bagi kaum gay diganti dengan larangan bagi siapa saja yang melakukan aktivitas seks tak aman.
Sebelumnya FDA menegaskan bahwa semua pria gay dilarang melakukan donor darah karena memiliki berisiko tertinggi. Darah pria gay dianggap ancaman, khususnya terhadap penyakit menular seksual. Penyakit itu seperti klamidia, sifilis, gonore, kutil kelamin dan herpes.
FDA berpendapat bahwa pria gay bisa meningkatkan risiko infeksi menular melalui transfusi seperti AIDS dan hepatitis B.
Menurut FDA, sebagian besar ketakutan sebenarnya sudah lama disadari. Dulu ketika beberapa pasien diobati untuk hemofilia, beberapa orang malah memiliki gejala AIDS setelah menerima transfusi darah dari seorang yang diketahui gay secara rutin.
Berdasarkan data FDA, tahun 2010, pria yang melakukan aktivitas seksual antarsesama mendominasi angka orang yang terinfeksi HIV, yaitu 61 persen. Padahal mereka hanya dua persen dari total penduduk Amerika Serikat.