CANBERRA -- Indonesianis asal Australia, Dr Joost Cote, menilai RA Kartini sebagai tokoh nasionalis awal di Indonesia, mendahului tokoh-tokoh nasionalis yang dikenal selama ini.
Dr Cote yang banyak meneliti tentang Indonesia awal abad ke-20 mengatakan, dengan membaca karya-karya Kartini, tampak jelas keinginan dan gagasan tentang nasionalisme khususnya di Jawa. "Kartini bahkan mendahului kaum nasionalis pria," katanya.
Dr Cote diwawancari ABC terkait buku terbarunya Kartini: The Complete writings, 1898 – 1904, yang diterbitkann Monash University Publishing tahun 2013. Berbeda dengan buku lainnya tentang Kartini, buku ini merupakan koleksi lengkap semua surat, tulisan, dan artikel karya Kartini termasuk yang belum pernah dipublikasikan sebelumnya.
Buku karya Dr Cote ini akan diluncurkan dalam Ubud Writers and Readers Festival di Ubud, Bali, 11 hingga 15 Oktober mendatang. Tema festival penulis internasional yang telah berlangsung 10 tahun itu, adalah "Habis Gelap Terbitlah Terang" untuk memperingati ketokohan RA Kartini.
Dr Cote yang juga peneliti di Universitas Monash mengatakan, sudah hampir satu abad sejak surat-surat Kartini diterbitkan pertama kali, namun belum pernah ada yang mengumpulkannya dalam satu koleksi.
"Jadi ini merupakan usaha pertama kali untuk mengumpulkan semua surat, tulisan, artikel yang pernah Kartini tulis ke dalam satu volume. Jadi kita akan mendapat ide bagaimana pentingnya Kartini," jelasnya.
Menurut Dr Cote, Kartini selalu dilihat sebagai tokoh yang menekankan pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan, pentingnya ibu rumah tangga dan keluarga. "Saya mencoba melihat Kartini pada saat ia menuliskan pikirannya sesuai konteks zamannya. Saya kira tidak akan ada yang mengejutkan dari koleksi baru ini, tapi hal penting yang ingin saya garisbawahi adalah bahwa Kartini sebenarnya merupakan sosok nasionalis yang sangat awal. Bahkan sebelum kaum pria melakukannya," katanya.
Dengan mengumpulkan semua karyanya ke dalam satu volume, kata Dr Cote, pembaca akan mendapat kejelasan betapa Kartini sangat penting sebagai sosok nasionalis awal di tanah Jawa. "Dia bahkan ingin menunjukkan kepada orang Belanda betapa mereka sangat tidak perduli. Kami orang Jawa bisa memajukan kondisi kami sendiri, jika orang Belanda membiarkan kami melakukannya," demikian kata Dr Cote.
Ia menyatakan sangat senang bisa hadir di Ubud, dan kota lainnya di Indonesia. "Saya akan diskusikan pentingnya Kartini dalam festival ini. Juga akan meluncurkan buku baru tentang Kartini di sana. Saya kira menarik karena surat-surat Kartini pertama kali diterbitkan tahun 1911, jadi sangat tepat melihat kembali Kartini satu abad kemudian," kata Dr Cote.
Kartini, kata Dr Cote, selalu bisa dibaca kapan saja. "Lebih baik kita baca karya-karyanya untuk melihat betapa Kartini memperjuangkan hak-hak perempuan dan pesan itu tidak akan pernah basi. Surat-suratnya bukan suatu dokumen politik, melainkan surat dari seseorang kepada seseorang lainnya, jadi kita benar-benar bisa melihat bagaimana perasaan dan pikiran Kartini dengan lebih dekat. Ini membuat Kartini selalu bisa dibaca kapan saja," jelasnya.
Women of Letters
Buku karya Dr Cote ini merupakan bagian kegiatan Women of Letters dari Australia yang tahun ini mengadakan tur ke sejumlah kota di Indonesia. Selain Ubud, Women of Letters juga akan tampil di Jakarta dan Yogyakarta.
Kurator Women of Letters Marieke Hardy dan Michaela McGuire mengatakan pihaknya sangat senang bisa menyelenggarakan kegiatan ini untuk pertama kalinya di Indonesia, sekaligus mengambil bagian dalam festival di Ubud. Women of Letters diadakan pertama kali 2010 di Australia dan telah mengadakan kegiatan di Amerika Serikat.
Di Jakarta, mereka akan tampil di Komunitas Salihara Kamis 3 Oktober, kemudian di Langgeng Art Foundation, Yogyakarta Sabtu 5 Oktober, sebelum tampil di Ubud Sabtu 12 Oktober.
Menurut Direktur Ubud Writers and Readers Festival Janet DeNeefe, festivalnya menyambut baik kedatangan rombongan penulis Australia ke Indonesia untuk menjalin persahabatan lebih dekat lagi di antara kedua negara.