Senin 23 Sep 2013 14:00 WIB

Jalur Penerbangan Australia-Selandia Baru Ternyata Memiliki Lapisan Ozon Sensitif

Red:
Jalur penerbangan
Jalur penerbangan

CANBERRA -- Sebuah studi terbaru menemukan jalur penerbangan antara Australia dan Selandia Baru merupakan jalur dengan produksi ozon yang merusak atmosfir dalam jumlah tertinggi.

Studi dilakukan dengan menganalisa lebih dari 83 ribu penerbangan. Hasilnya jalur terbang antara Australia dan Selandia Baru memang memiliki lapisan ozon yang sensitif terhadap pembuangan emisi dari pesawat terbang.

Kawasan yang paling sensitif ada di atas perairan Pasifik, sekitar 1000 kilometer dari sebelah timur kepulaun Solomon.

Kawasan lain yang juga sensitif adalah di atas benua Australia, Asia Tenggara hingga kawasan Madagascar.

Menurut Profesor Steve Barret dari Massacusetts Institute of Technology, ironisnya atmosfir di kawasan Pasifik yang relatif bersih, justru menjadi penyebabnya.

Hal ini dipicu saat pesawat terbang mengeluarkan nitrogen yang bereaksi dengan sinar matahari dan membuat lapisan ozon.

"Saat kandungan nitrogen sudah ada di udara kemudian ozon terbentuk lagi dengan semburan nitrogen dari pesawat," jelas Profesor Steve. "Artinya, emisi di kawasan yang lebih bersih justru membuat ozon dibandingkan di kawasan yang memang sudah tercemar."

Di kawasan Pasifik ini, sensitifitas terhadap kerusakan ozon bisa lima kali lebih tinggi dibandingkan di kawasan Eropa, dan 3,7 kali dibanding di kawasan Amerika Utara.

Studi tersebut juga mengungkapkan selama kurun waktu bulan April hingga Oktober, penerbangan di sebelah utara khatulistiwa telah menyebabkan peningkatan emisi nitrogen hingga 40 persen.

Lantas bagaimana masalah ini bisa diselesaikan?

"Pasti selalu ada cara-cara untuk bisa mengurangi emisi dan meminimalisir dampaknya pada iklim. Salah satunya adalah dengan mengubah jalur penerbangan di beberapa kawasan tertentu," kata Profesor Steve.

Tetapi menurut pengamat lainnya, perubahan jalur pun bukan menjadi solusi karena artinya pesawat akan terbang lebih jauh, sehingga membutuhkan lebih banyak bahan bakar dan dampaknya bisa lebih buruk dalam jangka panjang karena emisi karbondioksida yang dihasilkan. 

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement