REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Menteri luar negari dari dua negara yang saling bermusuhan, Iran dan Amerika Serikat, akan mengadakan perundingan untuk pertama kalinya pada Kamis mengenai sengketa program nuklir yang dilakukan Tehran.
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry dan Menteri Luar Negeri Iran Muhammad Javad Zarif, bersama Inggris, China, Prancis, Jerman, dan Rusia akan bertemu di kantor pusat PBB, demikian pejabat negara Amerika Serikat mengatakan pada Senin.
Sebelumnya, perundingan tingkat tinggi antara Iran dan Amerika Serikat jarang terjadi sejak peristiwa Revolusi Islam tahun 1979.
Pertemuan antara Zarif dan Kerry terjadi setelah Iran menyatakan akan bernegosiasi meringankan sanksi internasional atas program pengayaan uranium. Presiden Iran Hassan Rowhani menegaskan bahwa negaranya tidak akan pernah mengembangkan bom nuklir.
Pertemuan antara Zarif dan Kerry "akan memberi gambaran mengenai level keseriusan Iran dan untuk melihat apakah negara tersebut mempunyai usulan yang konkrit," kaata seorang sumber dari Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat yang tidak disebut namanya oleh AFP.
Zarif, yang sempat mengenyam pendidikan di Amerika Serikat, mengkonfirmasi pertemuan dengan Kerry pada Kamis di laman Facebook-nya. Zarif mengaku telah bertemu dan berbicara dengan kepala urusan kebijakan luar negeri Uni Eropa Catherine Ashton mengenai, "komitmen dan usulan kerangka kerja dari Iran untuk mencapai solusi yang memastikan perlindungan terhadap hak rakyat iran dan juga pencabutan sanksi internasional."
Amerika Serikat, yang memimpin kampanye internasional untuk memotong aliran ekspor minyak dari Iran, bersikeras tidak akan mencabut sanksi tersebut tanpa adanya kemajuan nyata.
Pertemuan antara menteri luar negeri Amerika Serikat dan Iran yang terakhir terjadi pada 2007 lalu. Saat itu, perundingan informal antara dua negara dilakukan di tengah pertemuan puncak di Sharm El-Sheikh, Mesir.
Mantan presiden Iran Muhammad Khatami, dalam tulisannya di surat kabar The Guardian, memperingatkan negaranya mengenai potensi kegagalan diplomasi yang akan berakibat buruk bagi Tehran dan memberi keuntungan pada Israel.
"Jika Iran gagal menciptakan kepercayaan internasional, maka hal itu hanya akan menguntungkan kekuatan ekstrimis (Israel)," tulis Khatami.
Di sisi lain, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengkritik Rowhani dengan menyebut dia sebagai "serigala berbulu domba" dan mendesak komunitas internasional untuk tidak mencabut sanksi.