REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK--Presiden Iran Hasan Rouhani pada Jumat (28/9) menyebut serangkaian sanksi ekonomi sepihak terhadap negaranya bersifat ilegal. Sanksi itu, menurut dia, adalah produk kebijakan jangka pendek segelintir negara tertentu.
Rouani yang berbicara dalam pertemuan negara-negara anggota Gerakan Non-Blok mengatakan "semua negara harus mengacu kepada supremasi hukum guna mencapai sebuah keadilan dan perdamaian abadi di dunia".
"Sebanyak 193 negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa sepakat atas sebuah prinsip hubungan internasional untuk saling menahan diri atas ancaman atau penggunaan kekerasan dengan cara apa pun yang tidak sesuai dengan tujuan PBB," tegas Rouhani.
Itu berarti, kata Rouhani, seluruh negara harus mengindari langkah sepihak dalam bidang ekonomi, keuangan dan perdagangan yang bertentangan dengan hukum internasional dan Piagam PBB yang menghambat pencapaian tujuan pembangunan ekonomi dan sosial, khususnya di negara berkembang.
Ekonomi Iran terpukul berat akibat serangkaian sanksi PBB dan komunitas internasional sebagai konsekuensi penolakan resolusi PBB yang mengharuskan Iran untuk menghentikan program pengayaan uraniumnya yang mencurigakan.
Meskipun sejumlah pemimpin dunia telah terkesan dengan kepemimpinan Rouhani yang menjanjikan peluang untuk negosiasi nuklir kembali berlangsung, namun masih ada beberapa pihak yang meragukan ketulusan Iran. Alasannya. belum ada langkah nyata terkait penghentian program nuklir mereka.
Setelah bertemu dengan Menteri Luar Negeri Iran, Mohammad Javad Zarif, seorang pejabat AS mengatakan belum ada penyataan dari Iran yang dapat diterjemahkan dalam sebuah aksi konkret. "Apakah sanksi akan dicabut jika Iran melakukan setiap hal yang kami minta, tentu saja, tetapi hal itu harus persis seperti yang kami inginkan," kata seorang pejabat Kemenlu AS kepada wartawan.