Ahad 29 Sep 2013 17:37 WIB

Pemerintah Islam Tunisia Mundur

Rep: Ichsan Emrald Alamsyah/ Red: Nidia Zuraya
Perdana Menteri Tunisia Hamadi Jebali
Foto: bbc
Perdana Menteri Tunisia Hamadi Jebali

REPUBLIKA.CO.ID, TUNIS -- Pemerintah Islam Tunisia setuju untuk mundur dalam upaya menyelesaikan krisis politik di negeri itu. Partai Ennahda yang berada di belakang pemerintah juga setuju mendukung kabinet sementara yang memiliki tugas mempersiapkan pemilu lebih awal.

Sebelumnya oposisi sayap kiri sekuler terus menekan pemerintah melalui unjuk rasa besar-besaran. Tewasnya Chokri Belaid, Februari lalu dan kemudian pemimpin sayap kiri, Mohammed Brahmi, bulan Juli menjadi titik balik ketidakpuasan oposisi sehingga menarik diri dari parlemen. Mereka kemudian menggelar protes di seluruh negeri.

Oposisi sejak awal menyalahkan Partai Ennahda yang tak mengabaikan meningkatnya gerakan radikal. Beberapa dari gerakan radikal sempat menyerang Kedutaan Besar AS, di Tunis tahun lalu. Akan tetapi, Pemerintah sebenarnya juga telah bergerak menumpas Islam radikal dengan menangkap begitu banyak anggota mereka. Meski begitu, kelompok Oposisi sekuler tetap meminta pemerintah Islam mengundurkan diri. Semenjak tewasnya Brahmi, serikat buruh terbesar di Tunisia, UGTT dan beberapa kelompok masyarakat sipil menjadi mediator bagi oposisi dan pemerintah.

Wakil Ketua Serikat, Bouali Mbarki, mengatakan langkah Ennahda mengundurkan diri sangat positif sehingga menghapus kebuntuan. UGTT juga saat ini memiliki pernyataan tertulis dari Ennahda dan pejabat oposisi juga menegaskan perjanjian itu. Pejabat Partai Ennahda, yang diwawancarai Reuters, Lotfi Zitoun mengatakan kelompok dia menerima tanpa syarat agar negara keluar dari krisis politik.

Selanjutnya Juru runding dari pemerintahan Perdana Menteri Ali Larayedh yang mengundurkan diri akan melakukan negosiasi selama tiga pekan ke depan. Negosiasi dilakukan untuk membentuk pemerintah transisi non partisan. Pemerintah transisi memiliki tugas untuk menetapkan tanggal pemilihan parlemen dan presiden. Sehingga Pemerintah transisi akan membentuk komisi pemilihan untuk mengatur hal tersebut.

Sementara itu berdasarkan keputusan ini, maka anggota parlemen dari kelompok kiri yang memboikot majelis akan kembali bekerja. Majelis akan kembali menyelesaikan konstitusi selama empat pekan ke depan.Tunisia adalah negara pertama yang menggelar aksi penggulingan kepada diktator sekuler Zine El Abidine.

Analis politik Salaheddine Jourchi mengatakan keputusan Ennahda menunjukkan mereka sadar dengan kondisi yang terdesak. Apalagi sebagian masyarakat meminta Ennahda mundur demi terbentuknya kabinet transisi.

''Hal ini memungkinkan Ennahda mengambil langkah...karena citranya sangat buruk di masyarakat,'' ujar dia, Ahad (29/9). Namun ia yakin Ennahda akan tetap kuat di dalam masa transisi karena mereka mendominasi majelis sampai pemilu ke depan.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement