Senin 07 Oct 2013 13:40 WIB

Teheran Serukan Proposal Baru Nuklir Iran

Muhammad Javed Zarif
Foto: EPA/Ahmad Al Rubaye
Muhammad Javed Zarif

REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Menteri Luar Negeri Iran, Mohammad Javad Zarif, menyerukan pengajuan proposal baru dari negara-negara kekuatan dunia dalam pembicaraan terkait program nuklir Teheran yang akan dimulai kembali pada 15 Oktober.

Zarif mengatakan bahwa proposal sebelumnya yang dibuat oleh apa yang disebut sebagai kelompok P5 +1 di dua pertemuan di Kazakhstan pada bulan Februari dan April itu diajukan sebelum masa kepemimpinan Presiden Hassan Rohani. Sehingga, proposal itu tidak lagi berlaku.

"Tawaran sebelumnya yang diajukan oleh P5 +1 adalah sejarah dan mereka harus datang ke meja perundingan dengan pendekatan baru," kata Zarif seperti dikutip kantor berita ISNA.

Proposal-proposal itu meminta Iran untuk menghentikan pengayaan uranium ke tingkat 20 persen yang disebut Teheran diperlukan untuk reaktor penelitian kesehatan dan mencegah pengayaan di situs bawah tanah Fordo di dekat pusat kota Qom.

Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Catherine Ashton, yang mewakili enam negara dalam perundingan itu mengatakan bahwa ia masih menunggu jawaban Iran untuk proposal sebelumnya.

Setelah pembicaraan dengan menteri luar negeri dari enam negara itu di New York pada 27 September, Zarif mengatakan dia berharap kesepakatan bisa dicapai dalam waktu satu tahun untuk meredakan kekhawatiran internasional terhadap ambisi nuklir Iran.

Pada Ahad (6/10), ia mengulang kembali harapannya bahwa kesepakatan bisa dicapai untuk menjawab kekhawatiran dari kedua belah pihak .

"Tujuan kami adalah untuk menguasai energi nuklir damai, termasuk pengayaan uranium di wilayah kami," katanya.

"Tujuan mereka adalah untuk menjaga program nuklir Iran damai selamanya,'' katanya. ''Kita harus menemukan cara untuk mencapai kedua tujuan itu pada waktu yang sama."

Kelompok P5+1 terdiri dari lima anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa (Inggris, Cina, Prancis, Rusia dan Amerika Serikat) serta Jerman.

sumber : Antara/AFP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement