REPUBLIKA.CO.ID, NUSA DUA -- Amerika Serikat (AS) memuji sikap konsisten Presiden Suriah Bashar al-Assad dalam menjalankan program penghancuran senjata kimia. Menteri Luar Negeri AS, John Kerry, mengatakan rezim di Damaskus itu pantas mendapat kredit yang positif.
''Proses ini (penghancuran senjata kimia) telah dimulai dalam waktu yang singkat. Kami (AS) menghargai kerja sama dengan Rusia atas kepatuhan Suriah,'' kata Kerry di sela pertemuan Forum Kerjasama Ekonomi Negera Asia Pasifik atau APEC, di Nusa Dua, Bali, Indonesia, Senin (7/10).
Kerry bersama pantarannya Menlu Rusia Sergei Lavrov melakukan pertemuan singkat di APEC. Keduanya menginformasikan tentang dimulainya program penghancuran senjata kimia di Suriah. Program tersebut adalah bagian dari Pakta Jenewa antara Moskow dan AS. Pakta itu menekan Damaskus yang jitu untuk menghindarkan serangan Paman Sam ke Suriah.
Keharusan penghancuran senjata itu menyusul temuan Washington atas penggunaan gas sarin oleh pasukan Assad. AS yakin, 1.400 sipil tewas akibat senjata terlarang itu. Temuan tersebut adalah rentetan panjang dari dua setengah tahun perang sipil di Suriah.
Washington menuduh Assad pelaku serangan ke warga itu, lalu mengancam akan menyerang Damaskus. Tapi, Assad menolak tuduhan AS. Dia malah menuduh penggunaan senjata kimia dilakukan oleh tentara oposisi. Washington dianggap Assad sebagai pembual. Kremlin mendukung pernyataan Assad, dan meminta Tim Inspektur Senjata Kimia PBB (OPCW) melakukan penyelidikan.
OPCW pun mendapat mandat. Lewat Pakta Jenewa, OPCW mulai bekerja sejak pekan lalu. Tim yang bermarkas di Den Haag, Belanda itu mulai terjun ke Damaskus sejak Selasa (1/10). ''Hari pertama kami telah menghancurkan hulu ledak, bom udara dan campuran bahan kimia,'' kata seorang peniliti OPCW kepada BBC News, Senin (7/10).
Peneliti tersebut mengatakan, penghancuran senjata kimia dilakukan oleh pemerintah Suriah tapi dengan pantauan OPCW. Penghancuran pertama dilakukan saat Ahad (6/10) waktu setempat. ''Proses serupa akan berlanjut dalam beberapa hari mendatang,'' katanya. Masih menurut sumber yang sama, OPCW mendata 50 situs yang diduga menjadi tempat menyimpan senjata kimia. Situs tersebut dikatakan tim sulit terjangkau, karena dikuasai oposisi.