Rabu 16 Oct 2013 01:11 WIB

Jika Patuh, Ini 'Hadiah' AS untuk Iran

Reaktor nuklir Iran
Reaktor nuklir Iran

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA---Amerika Serikat membuka peluang bagi kemungkinan pengurangan sanksi segera bagi Iran jika Teheran bertindak untuk menghapuskan kekhawatiran soal program nuklirnya, kendati kedua negara mengatakan bahwa akan sulit dan memakan waktu untuk mencapai kesepakatan.

Enam kekuatan dunia --Amerika Serikat, Rusia, China, Prancis, Inggris dan Jerman-- akan melakukan pembicaraan dengan Iran menyangkut program nuklir negara tersebut di Jenewa hari Selasa dan Rabu. "Tidak bisa diharapkan ada terobosan dalam satu malam," kata seorang pejabat pemerintah AS kepada para wartawan.

Namun, pejabat tersebut mengatakan Washington siap menawarkan kepada Iran pengurangan segera sanksi-sanksi ekonomi jika Iran segera beranjak menangani kekhawatiran --bahwa tujuan utama pengembangan nuklirnya adalah untuk membuat bom.

Kemungkinan penguranan sanksi apapun akan "diarahkan dan sesuai dengan apa yang dilakukan Iran," kata sang pejabat, yang tidak ingin disebutkan jati dirinya itu. "Saya yakin mereka tidak akan mencapai kesepakatan tentang apa yang dianggap sebanding," katanya. "Namun kita cukup jelas menyangkut opsi-opsi apa yang dimiliki dan disandingkan dengan (tindakan) apa."

Pada malam sebelum pembicaraan, kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Catherine Ashton, yang mewakili kelompok negara-negara yang dinamakan sebagai "P5+1", melakukan makan malam dengan Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif. "Acara makan malam berjalan baik," kata Zarif kepada Reuters ketika ia kembali ke hotelnya setelah makan malam selama dua jam di kediaman diplomatik Iran di Jenewa.

Ketika ditanya apakah ia menyampaikan rincian mengenai proposal Iran, ia menjawab: "Proposal itu untuk besok." Seorang diplomat mengatakan Zarif tidak mengungkapkan proposal Iran saat makan malam. Sebagai tanda bahwa Washington benar-benar serius mempertimbangkan melakukan pengurangan sanksi, delegasi AS pada perundingan memasukkan salah satu pakar utamanya di bidang sanksi, Adam Szubin.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement