Jumat 18 Oct 2013 01:10 WIB

Ternyata Perempuan Imigran Jadi Objek Rasisme di Australia

Red:
Imigran di Australia
Imigran di Australia

REPUBLIKA.CO.ID, PERTH -- Komisi HAM Australia mengatakan kasus rasisme di Australia terus meningkat. Jumlah pengaduan kasus rasisme yang diterima lembaganya naik 60% dibandingkan  tahun lalu.

Presiden Komisi HAM Australia, Gillian Triggs dalam sebuah forum mengenai Perempuan dan Rasisme di Sydney mengatakan kasus rasisme dilaporkan oleh kedua jenis gender, namun menurutnya perempuan pendatang atau imigran menjadi pihak yang paling menanggung beban rasisme.

Profesor Triggs mengatakan wanita pengungsi dan imigran mengalami efek “3 tekanan besar” ketika ras mereka dipersoalkan.

Profesor Triggs mengatakan meningkatnya jumlah pengaduan kasus rasisme ini disebabkan oleh pemberitaan media yang cukup luas terhadap sejumlah insiden yang menjadi sorotan publik, terutama soal transportasi umum dan juga media sosial.

"Saya kira semua orang mengetahui soal rasisme ini, dan mereka sekarang banyak mengadukan tindakan rasisme itu, dan masyarakat mulai menunjukan perlawanan terhadap perlakuan rasisme yang dialaminya,” tuturnya.

Perlakuan rasisme ini diakui oleh Jane Corpuz-Brock dari Perempuan Imigran Bicara, ia mengatakan banyak sekali bullying yang ditujukan kepada perempuan imigran di lingkungan kerja.

"Penampilan mereka diberi label, orang-orang berusaha saling menirukan mimic wajah mereka. Perempuan muslim yang menggunakan hijab kerap mendapat kesulitan mencari pekerjaan. Segera setelah calon majikan melihat mereka mengenakan hijab mereka langsung  mengatakan tidak dan batal menawarkan pekerjaan, bahkan jika CV-nya bagus,” tuturnya.

Corpuz-Brock mengatakan 80% perempuan  yang datang ke Speakout di Sydney Barat untuk meminta pertolongan setelah diremehkan latar belakang rasnya. Kondisi ini menurutnya sangat merugikan perempuan imigran.

Pengakuan serupa juga diungkapkan wakil Pemimpin Oposisi NSW, Linda Burney – ia merupakan perempuan Aborigin pertama yang terpilih sebagai anggota parlemen.

Burney mengatakan kejahatan seksual juga sering kali terkait dengan rasisme yang dialami wanita pribumi, seringnya terjadi di kota kecil.

"Rasisme membuat anda muak,” kata Burney.

Menanggapi maraknya rasisme terhadap perempuan pendatang, Presiden Asosiasi Perempuan Imigran Berbicara, Pallavi Sinha  mengatakan perlu ada aturan yang lebih kuat yang dapat memberikan akses kepada perempuan untuk mendapatkan pertolongan, dan  masalah itulah yang kemudian memicu dampak negative yang tidak proporsional bagi perempuan imigran.

"Perlu ada kajian khusus agar kita tahu seberapa luas masalah rasisme yang dihadapi perempuan imigran di Australia dan seberapa diperlukannya pendekatan yang lebih terfokus untuk menghadapi perempuan korban rasisme,” kata Sinha.

Presiden Badan Anti Diskriminasi, NSW, Stepan Kerkyasharian, mengatakan meskipun Undang-Undang Fitnah Rasial sudah diberlakukan  selama 20 tahun, namun hingga kini belum ada satu pun pengaduan kasus rasisme yang sukses.

"Rasisme di 2013 melahirkan bentuk baru dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, dengan teknologi global yang menciptakan tantangan  baru,” kata Kerkyasharian.

"Sangat penting bagi pemerintah federal, negara bagian dan kawasan bersama dengan organisasi HAM untuk memastikan keragaman kebudayaan terus ditegakkan di Australia.”  katanya lagi.

Kerkyasharian mengatakan revisi UU fitnah rasisme  akan digelontorkan dalam waktu dekat.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement