Senin 21 Oct 2013 23:56 WIB

Suu Kyi Desak Internasional Ikut Tekan Myanmar Percepat Reformasi

 Aung San Suu Kyi
Foto: Reuters/Soe Zeya Tun
Aung San Suu Kyi

REPUBLIKA.CO.ID, LUXEMBURG -- Pemimpin oposisi Myanmar Aung San Suu Kyi, Senin (21/10) mendesak para pemimpin Uni Eropa dan dunia untuk meningkatkan tekanan pada pemerintah di negaranya agar segera menuntaskan proses reformasi.

Pemenang penghargaan Nobel Perdamaian itu mengatakan kepada sekelompok kecil wartawan bahwa masa depan demokrasi negara itu berikut upaya mengakhiri konflik etnis yang berlanjut sangat bergantung pada perubahan cepat dan menyeluruh dari konstitusi.

 
"Reformasi telah berjalan sejauh ini tanpa perubahan konstitusi," katanya. "Kecuali konstitusi diubah kami harus menganggap pemerintahan saat ini tidak memiliki itikad baik dalam reformasi lebih lanjut."
 
"Uni Eropa harus menunjukkan dukungan pada kebutuhan untuk mengubah konstitusi," katanya, seraya juga menyeru dukungan dunia mengingat pendapat masyarakat internasional penting bagi pemerintah. Alasannya pemerintah sedanghaus  bantuan dan investasi. "
 
Konstitusi Myanmar saat ini, yang dibuat oleh mantan rezim militer, terutama dinilai bertujuan memblokir upaya Suu Kyi menjadi presiden, berdasarkan peraturan yang melarang siapa saja yang memiliki pasangan atau anak-anak berkewarganegaraan asing menjabat posisi itu. Dua anak lelakinya berkewarganegaraan Inggris melalui ayah mereka, mendiang akademisi Michael Aris .
 
Konstitusi itu juga mensyaratkan kepala negara harus memiliki pengalaman di dunia militer. Myanmar akan menggelar pemilihan umum parlemen pada 2015, parlemen baru kemudian memilih presiden dan Suu Kyi mengatakan ia ingin mencalonkan diri sebagai presiden.
 
Suu Kyi, yang partainya menyerukan dukungan agar konstitusi nasional ditulis ulang karena " tidak demokratis " , mengatakan negara itu sedang menunggu hasil kajia  parlemen mengenai isu tersebut pada akhir tahun .
 
"Pemerintah telah gagal berkomitmen secara terbuka pada desakan dilakukannya amandemen, katanya. "Sejauh ini mereka mengatakan terserah kepada lembaga legislatif," di mana militer memegang 25 persen kursi dan warga sipil tidak dapat membentuk 75 persen yang diperlukan untuk perubahan konstitusi karena kursi belum terisi," katanya.
 
"Ini tidak cukup baik," katanya.
 

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement