REPUBLIKA.CO.ID, BELFAST -- Aung San Suu Kyi mengatakan proses perdamaian Irlandia Utara bisa membantu rekonsiliasi di Myanmar. Hal itu disampaikannya saat peraih penghargaan Nobel itu mengunjungi provinsi Inggris itu, Kamis (24/10).
Pemimpin oposisi Myanmar itu mengatakan dia ingin belajar mengenai bagaimana Protestan dan Katolik mengakhiri pertumpahan darah sektarian yang berlangsung selama tiga dasawarsa dan membentuk pemerintahan bersama.
Myanmar baru-baru ini diguncang oleh pertumpahan darah anti-Muslim dan juga mencoba untuk mengatasi warisan pelanggaran hak asasi manusia yang telah berlangsung selama beberapa dasawarsa dan merajalela serta konflik antara pemerintah dan berbagai kelompok etnis.
Suu Kyi bertemu sejumlah politisi, polisi dan anak-anak sekolah selama kunjungannya di daerah itu. "Alasan utama saya datang ke Irlandia Utara adalah mempelajari bagaimana Anda berhasil menegosiasikan proses perdamaian di tengah semua kesulitan," katanya di Wellington College, Belfast, yang dilansir AFP dan dikutip Sabtu (26/10) pagi.
"Hal ini sangat berguna, apa yang telah kami pelajari di sini, saya kira akan sangat membantu kami di Burma.
"Saya ingin mengetahui bagaimana Anda melihat tantangan di masa kini karena saya diberitahu jika pekerjaan belum selesai," katanya.
Dia mengatakan perpecahan di Irlandia Utara lebih dalam daripada di Myanmar, meskipun masalah di negaranya lebih kompleks, dengan banyak etnis yang berbeda dan tantangan mengintegrasikan politik sipil dan militer. Suu Kyi mengunjungi ibukota Irlandia Utara dan tempat wisata Titanic Belfast.
Pada Rabu di London ia bertemu Pangeran Charles sebelum pembaptisan cucunya Pangeran George. Peraih penghargaan Nobel Perdamaian itu juga bertemu dengan Perdana Menteri David Cameron. Cameron akan membantu menciptakan tekanan internasional terhadap Myanmar untuk mencabut larangan terhadap orang yang memiliki pasangan atau anak-anak warga negara asing, termasuk Suu Kyi, untuk mencalonkan diri sebagai Presiden.