Ahad 27 Oct 2013 11:10 WIB

Isu 'Jihad Seks', Fatwa Ekstrem dan Propaganda Politik di Tunisia

Pemimpin oposisi Tunisia Chokri Belaid yang ditembak mati pada 6 Februari lalu
Foto: AFP
Pemimpin oposisi Tunisia Chokri Belaid yang ditembak mati pada 6 Februari lalu

REPUBLIKA.CO.ID, TUNIS -- Beberapa waktu lalu, dunia digemparkan dengan pernyataan otoritas Tunisia mengenai ditemukannya wanita negara itu menjadi pelaku 'jihad seks' di Tunisia maupun di Suriah.

Cerita, yang membuat heboh dan sulit dipercaya itu, berasal dari daerah Jebel ech Chaambi di barat Tunisia berbatasan dengan Aljazair.

Saat itu, otoritas setempat mengatakan menangkap para wanita di kota-kota dekat Chaambi yang dituduh mempunyai hubungan seks dengan para militan di daerah tersebut.

Wartawan BBC, Ahmed Maher, melakukan investigasi dengan kebenaran berita itu.

 

Tidak dapat dipastikan kebenarannya dan masyarakat terkejut dengan klaim pemerintah.

"Saya berjumpa dengan salah satu keluarga wanita yang ditangkap di Kasreen, empat jam perjalanan dari ibukota Tunis, dekat Chaambi," katanya diberitakan BBC.

Dia menyatakan orang tua wanita itu yakin anaknya tidak bersalah dan belum pernah mengunjungi Chaambi.

"Ini tuduhan palsu," kata seorang ibu yang tidak disebutkan namanya.

"Dia mengenakan jilbab dan menutupi seluruh badannya, kami menyebutnya itu tanda kesucian, bukan ekstrimisme."

Walaupun begitu, dia tidak mengetahui sepenuhnya mengenai kehidupan putrinya.

"Kemungkinan ia dicuci otak oleh ekstrimis, saya tidak tahu. Tapi saya mendesak Kementerian Dalam Negeri untuk membebaskannya, karena dia masih belia dan sering kejang-kejang," katanya.

Beberapa waktu lalu, Kepala Kemanan Nasional, Tunisia, Mostafa bin Amr, dalam sebuah konferensi pers bahwa polisi telah menangkap para perempuan Tunisia yang melakukan 'jihad seks'.

Warga Tunisia sadar hal itu lebih bernuansa propaganda politik dari pada kenyataan.

Seorang penyiar radio, Zuhir Eljiis percaya propaganda itu bertujuan agar partai Islam yang memerintah menutup mata atas nasib mereka yang dituduh ekstrimis dan militan.

"Kementerian Dalam Negeri tidak menunjukkan buktinya. Dia juga tidak memberikan datanya," katanya.

"Dia (Kepala Keamanan) menyulut kontroversi, dan membuat kesan seolah-olah itu merupakan isu besar. Padahal dia dikenal sebagai figur independen, tapi saya pikir dia sedang terjebak dalam permainan politik partai-partai yang sedang bersaing."

Sementara itu, Maher tidak dapat mewawancarai langsung para wanita yang ditahan.

Pihak pemerintah memastikan telah ada pengakuan dan bukti-bukti dari Facebok dan sadapan telepon.

Sheikh Fareed Elbaji seorang tokoh Islam di Tunisia memberikan kemungkinan adanya kasus tersebut.

Dia mengakui mengenal keluarga yang anaknya dijadikan korban 'fatwa ekstrimis'

"Mereka para ekstrimis, berdasarkan pada fatwa buruk bahwa keharusan membolehkan hal yang dilarang-dalam kasus ini pernikahan sementara untuk memenuhi nafsu para pemberontak," katanya.

"Islam melarang praktek seperti ini, yang menunjukkan sebuah praktek prostitusi sukarela," katanya.

Kelompok militan yang membawa nama Islam dan dikenal sebagai ekstrimis, muncul tiba-tiba pasca revolusi Tunisia dan menjadi musuh utama pemerintahan partai Islam an Nahdha.

Pembunuhan para tokoh politik oposisi oleh militan membuat partai pemerintah itu didesak mundur untuk mengadakan Pemilihan Umum dalam waktu yang dekat.

sumber : BBC

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement