REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Pihak pemerintah Mesir dan Ikhwanul Muslim harus berusaha untuk berekonsiliasi satu sama lain, kata Wakil Perdana Menteri Mesir Ziad Bahaa El-Din pada Selasa. Pernyataan tersebut merupakan sikap yang sangat mengejutkan karena banyak anggota kabinet lain menyebut Ikhwanul Muslimin sebagai kelompok "teroris."
Bahaa El-Din telah berusaha mendorong kedua belah pihak untuk berkompromi sejak menjabat sebagai wakil perdana menteri pada Agustus lalu. "Keamanan adalah hal yang sangat penting di Mesir dan pemerintah tidak dapat mewujudkan hal tersebut sendirian. Negara ini juga membutuhkan kerangka kerja politik yang jelas," kata dia kepada para wartawan. "Negara ini sangat membutuhkan kerangka kerja, seperti perjanjian politik atau semacamnya. Mesir membutuhkan kerangka kerja politik yang inklusif bagi semua pihak," kata Bahaa El-Din.
Usulan Bahaa El-Din di antaranya adalah penghentian segera kondisi darurat negara, partisipasi politik semua pihak, dan jaminan terhadap hak asasi manusia termasuk di antaranya hak untuk berkumpul. Namun misi Bahaa El-Din tersebut dinilai beberapa kalangan tidak akan mudah untuk diwujudkan.
Media milik negara di Mesir selama ini memprovokasi publik untuk membenci Ikhwanul Muslimin (gerakan Islam yang memenangi pemilu pertama sejak tergulingnya Husni Mubarak pada 2011) dan menciptakan iklim sosial yang membuat toleransi semakin terkikis.
Selain itu, pengawasan ketat dari pihak keamanan terhadap Ikhwanul Muslimin juga membuat posisi politik organisasi tersebut semakin sulit. Bahaa El-Din menyampaikan harapan akan terwujudnya kompromi politik, meskipun para pemimpin utama Ikhwanul Muslimin kini sedang mendekam di penjara. Dia mengatakan bahwa Ikhwanul Muslimin adalah gerakan damai yang tidak perlu menggunakan cara-cara kekerasan.
"Saya yakin bahwa dipenjaranya beberapa pemimpin organisasi tidak akan membuat mereka mundur dari jalan perdamaian. Mereka justru berniat untuk meninggalkan jalan kekerasan dan bergabung dengan kerangka kerja pemerintah," kata dia.