REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pascapenyadapan secara ilegal oleh Amerika Serikat (AS) dan Australia terhadap Indonesia, publik menanti ketegasan pemerintah kepada dua negara tersebut.
Pengamat hukum internasional, Hikmahanto Juwana, menjelaskan protes dan meminta penjelasan kepada AS dan Australia jadi dua titik kritis. Sebab setelah ini akan terlihat, apakah protes keras pemerintah beberapa waktu lalu hanya sekadar menenangkan kemarahan publik atau sikap tegas yang sesungguhnya?
"Jika pemerintah mementingkan hubungan bilateral, saya pikir pemerintah tidak akan terlalu keras. Tapi jika pemerintah mengakomodir kemarahan publik, bisa jadi akan terjadi pemerintah akan memanggil Kedubes Indonesia di Australia dan mengusir Keduber Australia untuk Indonesia," tutur dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu, Sabtu (2/11).
Tak ada yang tahu pasti apa yang diinginkan kedua negara itu atas penyadapan sejumlah negara di Asia termasuk Indonesia. Hal itu yang harus digali dari para Duta Besar AS dan Australia. "Bisa saja kebijakan pemerintah, pemilu, bisnis, banyak hal," kata Himahanto.
Penyadapan ini, menurut dia, tidak menjadi indikator lemahnya proteksi Badan Intelejen Negara (BIN). Penyadapan merupakan hal yang wajar dilakukan.
Masalahnya, penyadapan AS dan Australia selama ini tidak diketahui. Ini baru terungkap setelah adanya laporan Snowden tentang penyadapan AS dibanyak tempat dan kegiatan seperti G 20 di London.
Ia menilai kemaran publik ini wajar. Bahkan Jerman menunjukkan kemarahannya dengan serius di media. Jika itu dilakukan juga oleh pemerintah Indonesia, tentu pemerintah harus siap dengan konsekuensinya.
"Ini yang sedang dilakukan. Berbagai hal sedang dipertimbangkan saat ini. Kita lihat saja," ujar Hikmahanto.
Surat kabar Sydney Morning Herald edisi Selasa (29/10) melaporkan adanya fasilitas penyadapan kedutaan Amerika Serikat (AS) di Jakarta dan beberapa negara Asia lainnya. Ini merupakan runtutan terbukanya penyadapan yang dilakukan AS setelah mantan pegawai kontrak Badan Intelejen Nasional Amerika (NSA), Edward Snowden, membocorkan program mata-mata NSA, Juni lalu.
Snowden mengungkapkan adanya penyadapan dalam pertemuan G 20 di London. Jerman, Turki, dan Afrika Selatan yang menjadi objek penyadapan sudah mengajukan protes keras akan hal itu.