Ahad 03 Nov 2013 13:38 WIB

Pengamat: Soal Penyadapan, RI Harus Tegas

Penyadapan (ilustrasi)
Penyadapan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Hubungan Internasional Hikmahanto Juwana mengapresiasi sikap Pemerintah Indonesia yang melayangkan surat protes dan meminta penjelasan dari Amerika Serikat dan Australia terkait kabar penyadapan.

"Tindakan Menlu (Marty) Natalegawa dengan melayangkan surat protes dan meminta penjelasan dari dua negara yang menyadap sudah tepat. Kini Indonesia menunggu tanggapan resmi dari kedua negara," kata Hikmahanto di Jakarta, Ahad (3/11).

Ia mengatakan, bila Indonesia menganggap penjelasan resmi sudah memadai maka isu penyadapan akan selesai sampai situ. Namun, tambah dia, bila Indonesia tidak puas dengan penjelasan dari AS dan Ausralia maka Indonesia dapat melakukan tindakan pengusiran atau persona nongrata atas sejumlah diplomat yang bertugas di Kedubes AS dan Australia di Jakarta.

"Bahkan pemerintah Indonesia dapat memanggil pulang Dubes Indonesia di Amerika dan Australia, bahkan memperkecil diplomat yang bertugas di pewakilan kedua negara," katanya.

Sikap itu, kata dia, diambil sebelum tindakan keras berupa pemutusan hubungan diplomatik. "Semua akan bergantung pada bagaimna reaksi pemerintah Indonesia terhadap insiden penyadapan," ujarnya.

Pemerintah Jerman dan Brazil, kata dia, telah mengungkap kemarahannya dengan mengusulkan ke PBB tentang draf resolusi terkait hak privasi. Lebih lanjut ia mengatakan jika terkuaknya penyadapan oleh AS dan Australia bukan didasarkan atas hasil kerja dari BIN melainkan pengkhinatan yang dilakukan oleh mantan pegawai kontrak Badan Keamanan Nasional (NSA), Edward Snowden.

Snowden, kata dia, telah mengungkapkan penyadapan yang dilakukan oleh AS di Jerman, China, Malaysia, bahkan Indonesia. Ia menilai tindakan penyadapan dilakukan untuk mengumpulkan informasi secara ilegal sehingga pemerintah AS atau Australia dapat mengetahui terlebih dahulu serta mengantisipasi kebijakan yang akan dibuat oleh pemerintah Indonesia.

"Penyadapan dianggap tidak sehat dalam melakukan hubungan internasional karena didasarkan pada kecurigaan dan keinginan untuk terlebih dahulu tentang kebijakan yang diambil oleh pemerintah dari negara yang akan disadap," katanya.

Penyadapan, kata Hikmahanto, juga dianggap bertentangan dengan hukum internasional karena tindakan tersebut tidak sesuai dengan norma yang diatur dalam Konvensi tentang Hubungan Diplomatik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement